BUKU Membongkar Gurita Cikeas, Di Balik Skandal Bank Century, mendapat iklan gratis. Hanya sepekan setelah diluncurkan di Yogyakarta 23 Desember silam, buku yang ditulis George Junus Aditjondro itu dibicarakan dan dicari banyak orang. Seorang teman yang dikenal dekat dengan George, malam ini dihubungi banyak wartawan yang meminta agar dibagi buku George. Dia tertawa dengan permintaan itu karena dia hanya punya satu dan sedang saya baca. Benar luar biasakah buku mantan wartawan Tempo itu sehingga banyak orang mencarinya? Di Taman Ismail Marzuki Jakarta malam ini, saya membaca habis buku George itu. Sama dengan sebagian orang yang penasaran dengan buku itu dan belum membacanya, semula saya juga berharap menemukan “sesuatu” yang baru tentang hubungan Cikeas dengan skandal Bank Century seperti tertulis di judul buku dan belum diketahui orang. Halaman demi halaman saya baca dan juga memeriksa titik komanya. Hasilnya saya harus kecewa.
Isi buku George nyaris sama sekali tak ada yang baru, apalagi soal skandal Century itu. Dari 183 halaman buku itu, sebagian besar isinya hanya berupa potongan-potongan berita di media cetak atau tulisan orang lain yang sudah pernah dipublikasikan, dan sudah jamak diketahui orang. Kalau pun ada yang berbeda, itu hanya karena George menuliskan dengan runtut dan sistematis seolah-olah berdasarkan kajian ilmiah, dan mencantumkan beberapa dokumen seperti surat rekomendasi Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri waktu itu, Komjen (Pol) Susno Duadji.
Tulisan tentang Century, misalnya, hanya ditulis sebanyak dua setengah halaman di bab awal buku, dan isinya sama sekali bukan hasil penelusuran atau investigasi George. Sumbernya berasal dari Vivanews, Antara, Batam Pos, Inilah.com, tulisan Marisa Haque dan Harris Rusly.
Di bagian ini, George antara lain menulis, “Dari berbagai pemberitaan di media massa dan internet, nama dua orang nasabah terbesar Bank Century telah muncul ke permukaan, yakni Hartati Mudaya, pemimpin kelompok CCM (Central Cipta Mudaya) dan Boedi Sampoerna, salah seorang penerus keluarga Sampoerna, yang menyimpan triliunan rupiah di bank itu sejak 1998.”
Dua orang yang disebutkan namanya itu, oleh George lalu disebut-sebut sebagai penyumbang logistik SBY untuk musim Pemilu lalu. Nama-nama lain yang disebutkan, adalah beberapa deposan di Century, seperti PTPN Jambi, Jamsostek, dan PT Sinar Mas. Khusus untuk Boedi, George menyebutkan, dia masih sempat menyelamatkan sebagian depositonya senilai US$ 18 juta, berkat bantuan rekomendasi Susno Duadji, tertanggal 7 dan 17 April 2009.
Juga soal kaitan antara Keluarga Sampoerna dengan harian Jurnal Nasional. George hanya mengulang, dari apa yang sebetulnya sudah ramai diketahui kalangan jurnalis. Misalnya tentang Sunaryo mengalirkan dana Grup Sampoerna ke PT Media Nusa Perdana, penerbit harian Jurnal Nasional di Jakarta. Sunaryo adalah kolektor lukisan yang kaya raya, yang mengurusi pabrik kertas Esa Kertas milik keluarga Sampoerna di Singapura yang hampir bangkrut, dan sedang bermasalah dengan Bank Danamon.
Dana Antara
Dari semua isi buku George itu, saya hanya tertarik dengan tulisan soal Kantor Berita Nasional Antara yang disebut-sebut ikut menyumbang dana ke Bravo Center. Kalau Bravo Center yang dimaksud oleh George adalah salah satu sayap tim sukses SBY-Boediono pada Pemilu lalu, saya kira George kurang lengkap menuliskannya. Nama lengkapnya adalah Bravo Media Center, beralamat di Jalan Jalan Teuku Umar 51, Menteng, Jakarta Pusat dan email info@bravomediacenter.com. Lembaga ini didirikan dan dikelola Zulkarnaen Mallarangeng, 13 Feburari 2009. Entahlah sekarang.
Di musim kampanye Pemilu Presiden, Bravo Media Center pernah sangat aktif menurunkan tulisan seputar kampanye lewat situsnya di http://www.bravomediacenter.com dan mengundang para wartawan. Saat ini situs itu terbengkalai. Tak ada tulisan atau berita baru. Tulisan terakhir, tentang Boediono yang berdialog dengan petani di Bogor, dipublikasikan 16 Juni 2009.
Antara oleh George disebut mengalirkan dana ke Bravo Center Rp 40,6 miliar. Dana itu dialirkan Direktur Antara, Ahmad Mukhlis Yusuf lewat dana PSO (Public Service Obligation) kantor berita itu. Pengalihan dana itu kemudian menimbulkan ketegangan di dalam kantor berita itu. Namun kata George, karena rasa tanggung jawab yang besar dan sulitnya mencari pekerjaan, tidak ada karyawan Antara yang keluar meski informasi itu kini sudah sempat merembes ke luar.
Dana PSO Antara itu, menurut George, berasal dari alokasi PSO untuk empat BUMN: PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni), PT Kereta Api Indonesia (KAI), PT Pos Indonesia dan Antara. Jumlah totalnya mencapai Rp 1,7 triliun dan katanya disetujui oleh DPR di akhir 2008.
Lalu dengan ciri khasnya, yang seolah-olah bertanya, George mengakhiri bagian ini dengan pertanyaan “Kalau pengalihan sebagian uang rakyat untuk ‘dana siluman’ kampanye SBY-Boediono karena tidak dilaporkan ke KPU, bagaimana dengan uang rakyat yang dititipkan di BUMN yang lain, di mana juga menjadi penyumbang tim sukses SBY-Boediono?”
Yayasan dan Denny Indrayana
Soal yayasan-yayasan yang berada dalam genggaman Keluarga Cikeas yang juga disinggung oleh George di buku ini, juga sama saja, tidak ada yang baru. Itu berbeda dengan tulisan-tulisan George tentang yayasan-yayasan yang dikelola Soeharto, B.J. Habibie, dan Megawati yang membuat orang mendapatkan informasi baru. Saya tak paham, mengapa kali ini, George yang “ahli” yayasan itu hanya mengandalkan sobekan-sobekan berita dan tulisan orang, dan tidak menggalinya lebih jauh.
George membagi dua bab soal yayasan yang dikendalikan oleh Keluarga Cikeas itu: “Yayasan yang Berafiliasi dengan SBY,” dan “Yayasan yang Berafiliasi dengan Ani SBY.” Satu bab lain yang berada di tengah dua bab ini adalah “Kaitan dengan Bisnis Keluarga Cikeas.” Bab-bab itu dilengkapi dokumen foto, termasuk foto cucu SBY, Almira Tungga Dewi dalam pangkuan Anissa Pohan.
Karena tidak ada hal-hal dan informasi baru, menurut saya, buku ini terlalu disikapi luar biasa. Mengherankan karena itu, mereka yang merasa menjadi bagian atau dekat dengan kekuasaan kemudian meradang menyikapi terbitnya buku George yang menurut informasi, sebetulnya akan diterbitkan saat musim kampanye Pemilu lalu itu. Sebagian dari mereka bereaksi biasa-biasa saja, sebagian lagi malah berlagak sebagai orang paling terhormat dan paling pintar.
Lalu Minggu pagi tadi, Denny Idrayana S.H., LL.M., Ph.D., staf khusus presiden itu, menyempatkan menulis status di Facebook-nya soal buku. Kata dia, “Buku sampah. Informasi sampah. Gosip sampah. Kalaupun didapat, ya langsung masuk tempat sampah, tidak usah pula terlalu ditanggapi atas nama kebebasan berpendapat pula, ah ora pantes je! Keep fighting for the better Indonesia. Just Doa and Do the best!”
Saya tidak tahu, apakah pernyataan Denny itu, untuk menanggapi buku George atau tidak. Saya hanya tahu, setiap hari Denny pasti menghasilkan sampah meski dia tak pernah bekerja sebagai pemulung sampah. Atau kalau pun benar, buku George dianggap sampah, menurut saya, sesampah-sampahnya buku itu masih lebih baik dari orang yang menganggap buku sebagai sampah.[Rusdi Mathari]