Desember 30, 2009

gus dur = wali?

Inayah Wahid: "Waktu ke Jombang, Gus Dur serasa diminta datang oleh mbah KH Hasyim Asyhari. Waktu di Jombang, sempat bilang ke sepupunya agar dijemput pada 31 Desember ini."

Adakah beliau sudah mengetahui tanda-tanda panggilanNya? Kalau iya, artinya beliau memang memiliki maqom spiritual yang luar biasa dan pantas sebagian besar warga Nahdliyin menganggapnya wali. Paling tidak wali (pelindung) bagi kaum kecil.

Semoga Allah SWT melapangkan kuburnya dan menyediakan tempat terindah di alam sana. Kami akan selalu merindukanmu, Gus...[]

Desember 28, 2009

mengapa pekerja infotainment sering nekad berburu artis?

Jika anda adalah salah satu dari sekian banyak pemersa TV yang rajin menonton adegan yang memperlihatkan para pekerja infotainment mengejar para artis untuk di wawancarai, mungkin anda akan merasa heran.

Keheranan tsb terkait dengan beberapa hal seperti adanya kesan betapa para pekerja infotainment itu seperti memaksa untuk mengadakan wawancara terhadap artis yang pada saat itu sebenarnya tidak bersedia untuk diwawancarai.

Hak privasi dan kebebasan para artis itu pun seperti diganggu oleh para pekerja infotainment yang sering memburu mereka. Lebih dari itu jika artis yang bersangkutan tidak ada di rumah karena kesibukan tertentu atau mungkin juga karena menghindar, para pekerja infotainment itu tetap menunggunya hingga larut malam bahkan hingga pagi hari.

Seperti telah pernah diberitakan sebelumnya beberapa artis dan tokoh masyarakat seperti Aa Gym bukan saja merasa terganggu dengan kedatangan para pekerja infotainment tsb tapi juga sampai tidak dapat menahan kemarahannya kepada para pekerja infotainment ini.

Anehnya walaupun para pekerja infotainment sudah sering kali mengalami konflik dengan para artis dan tokoh masyarakat, bahkan para ulama sudah mengatakan kalau liputan gosip infotainment ini hukumnya haram, mereka tetap saja nekad menjalankan perkerjaannya dengan cara-cara seperti itu. Apa sebabnya ?

PEKERJAANNYA SEPERTI MENGEJAR SETORAN

Seorang pekerja infotainment yang bekerja di sebuah rumah produksi (PH), ketika diwawancarai oleh Detik.com menerangkan tentang liku-liku pekerjaannya. Dari keterangan tsb kita semua sedikit banyaknya akan bisa memahami, mengapa para pekerja infotainment itu sering nekad dan terkesan seperti memaksa ketika mewawancarai artis.

Dari keterangan tsb terungkaplah bahwa pekerja infotainment bekerja di bawah tekanan (under pressure), karena mengejar target yang dibebani bos mereka dalam waktu yang singkat, di samping juga harus bersaing dengan pekerja infotainment dari PH yang lain. Lebih detailnya para perkeja infotainment itu bekerja di bawah tekanan karena pola kerja sbb:

Program infotainment tayang setiap hari, akibatnya mereka sering pulang larut malam, bahkan sering tidak bisa libur. Kalau dapat libur itu pun tidak menentu.

Saat sedang sedang off (libur) mereka harus siap jika ada telepon dari kantor untuk mengejar artis tertentu.

Tidak jarang mereka harus menggarap dua tayangan sekaligus yang digarap perusahan.

Mereka harus rela menanti hingga larut malam hingga pagi hari untuk bisa meminta komentar atau tanggapan dari artis yang diburu terutama artis yang sedang terlibat kasus tertentu seperti kasus criminal, perceraian, kawin siri, dll.

Di samping mendapat keterangan dari artis yang diburu, hal yang lebih sulit adalah mereka harus bersaing untuk bisa mendapat gambar artis ybs. Tidak jarang hal ini menimbulkan konflik dengan artis ybs.

Semua tekanan yang mereka dapatkan dari pekerjaan tsb termasuk tekanan akibat konflik dengan para artis harus mereka hadapi terus, karena menurut pendapat mereka, “lebih baik di maki artis daripada disemprot bos.

Kalau dipikir-pikir, tampaknya tugas para pekerjaan infotainment ini ada kemiripan dengan supir metromini yang sering membawa kendaraannya dengan seruduk sana seruduk sini tanpa memikirkan kenyamanan orang lain, karena mengejar setoran yang ditargetkan oleh bos mereka.[Mas Abdi]

buku george, buku sampah?

BUKU Membongkar Gurita Cikeas, Di Balik Skandal Bank Century, mendapat iklan gratis. Hanya sepekan setelah diluncurkan di Yogyakarta 23 Desember silam, buku yang ditulis George Junus Aditjondro itu dibicarakan dan dicari banyak orang. Seorang teman yang dikenal dekat dengan George, malam ini dihubungi banyak wartawan yang meminta agar dibagi buku George. Dia tertawa dengan permintaan itu karena dia hanya punya satu dan sedang saya baca.

Benar luar biasakah buku mantan wartawan Tempo itu sehingga banyak orang mencarinya? Di Taman Ismail Marzuki Jakarta malam ini, saya membaca habis buku George itu. Sama dengan sebagian orang yang penasaran dengan buku itu dan belum membacanya, semula saya juga berharap menemukan “sesuatu” yang baru tentang hubungan Cikeas dengan skandal Bank Century seperti tertulis di judul buku dan belum diketahui orang. Halaman demi halaman saya baca dan juga memeriksa titik komanya. Hasilnya saya harus kecewa.

Isi buku George nyaris sama sekali tak ada yang baru, apalagi soal skandal Century itu. Dari 183 halaman buku itu, sebagian besar isinya hanya berupa potongan-potongan berita di media cetak atau tulisan orang lain yang sudah pernah dipublikasikan, dan sudah jamak diketahui orang. Kalau pun ada yang berbeda, itu hanya karena George menuliskan dengan runtut dan sistematis seolah-olah berdasarkan kajian ilmiah, dan mencantumkan beberapa dokumen seperti surat rekomendasi Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri waktu itu, Komjen (Pol) Susno Duadji.

Tulisan tentang Century, misalnya, hanya ditulis sebanyak dua setengah halaman di bab awal buku, dan isinya sama sekali bukan hasil penelusuran atau investigasi George. Sumbernya berasal dari Vivanews, Antara, Batam Pos, Inilah.com, tulisan Marisa Haque dan Harris Rusly.

Di bagian ini, George antara lain menulis, “Dari berbagai pemberitaan di media massa dan internet, nama dua orang nasabah terbesar Bank Century telah muncul ke permukaan, yakni Hartati Mudaya, pemimpin kelompok CCM (Central Cipta Mudaya) dan Boedi Sampoerna, salah seorang penerus keluarga Sampoerna, yang menyimpan triliunan rupiah di bank itu sejak 1998.”

Dua orang yang disebutkan namanya itu, oleh George lalu disebut-sebut sebagai penyumbang logistik SBY untuk musim Pemilu lalu. Nama-nama lain yang disebutkan, adalah beberapa deposan di Century, seperti PTPN Jambi, Jamsostek, dan PT Sinar Mas. Khusus untuk Boedi, George menyebutkan, dia masih sempat menyelamatkan sebagian depositonya senilai US$ 18 juta, berkat bantuan rekomendasi Susno Duadji, tertanggal 7 dan 17 April 2009.

Juga soal kaitan antara Keluarga Sampoerna dengan harian Jurnal Nasional. George hanya mengulang, dari apa yang sebetulnya sudah ramai diketahui kalangan jurnalis. Misalnya tentang Sunaryo mengalirkan dana Grup Sampoerna ke PT Media Nusa Perdana, penerbit harian Jurnal Nasional di Jakarta. Sunaryo adalah kolektor lukisan yang kaya raya, yang mengurusi pabrik kertas Esa Kertas milik keluarga Sampoerna di Singapura yang hampir bangkrut, dan sedang bermasalah dengan Bank Danamon.

Dana Antara
Dari semua isi buku George itu, saya hanya tertarik dengan tulisan soal Kantor Berita Nasional Antara yang disebut-sebut ikut menyumbang dana ke Bravo Center. Kalau Bravo Center yang dimaksud oleh George adalah salah satu sayap tim sukses SBY-Boediono pada Pemilu lalu, saya kira George kurang lengkap menuliskannya. Nama lengkapnya adalah Bravo Media Center, beralamat di Jalan Jalan Teuku Umar 51, Menteng, Jakarta Pusat dan email info@bravomediacenter.com. Lembaga ini didirikan dan dikelola Zulkarnaen Mallarangeng, 13 Feburari 2009. Entahlah sekarang.

Di musim kampanye Pemilu Presiden, Bravo Media Center pernah sangat aktif menurunkan tulisan seputar kampanye lewat situsnya di http://www.bravomediacenter.com dan mengundang para wartawan. Saat ini situs itu terbengkalai. Tak ada tulisan atau berita baru. Tulisan terakhir, tentang Boediono yang berdialog dengan petani di Bogor, dipublikasikan 16 Juni 2009.

Antara oleh George disebut mengalirkan dana ke Bravo Center Rp 40,6 miliar. Dana itu dialirkan Direktur Antara, Ahmad Mukhlis Yusuf lewat dana PSO (Public Service Obligation) kantor berita itu. Pengalihan dana itu kemudian menimbulkan ketegangan di dalam kantor berita itu. Namun kata George, karena rasa tanggung jawab yang besar dan sulitnya mencari pekerjaan, tidak ada karyawan Antara yang keluar meski informasi itu kini sudah sempat merembes ke luar.

Dana PSO Antara itu, menurut George, berasal dari alokasi PSO untuk empat BUMN: PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni), PT Kereta Api Indonesia (KAI), PT Pos Indonesia dan Antara. Jumlah totalnya mencapai Rp 1,7 triliun dan katanya disetujui oleh DPR di akhir 2008.

Lalu dengan ciri khasnya, yang seolah-olah bertanya, George mengakhiri bagian ini dengan pertanyaan “Kalau pengalihan sebagian uang rakyat untuk ‘dana siluman’ kampanye SBY-Boediono karena tidak dilaporkan ke KPU, bagaimana dengan uang rakyat yang dititipkan di BUMN yang lain, di mana juga menjadi penyumbang tim sukses SBY-Boediono?”

Yayasan dan Denny Indrayana
Soal yayasan-yayasan yang berada dalam genggaman Keluarga Cikeas yang juga disinggung oleh George di buku ini, juga sama saja, tidak ada yang baru. Itu berbeda dengan tulisan-tulisan George tentang yayasan-yayasan yang dikelola Soeharto, B.J. Habibie, dan Megawati yang membuat orang mendapatkan informasi baru. Saya tak paham, mengapa kali ini, George yang “ahli” yayasan itu hanya mengandalkan sobekan-sobekan berita dan tulisan orang, dan tidak menggalinya lebih jauh.

George membagi dua bab soal yayasan yang dikendalikan oleh Keluarga Cikeas itu: “Yayasan yang Berafiliasi dengan SBY,” dan “Yayasan yang Berafiliasi dengan Ani SBY.” Satu bab lain yang berada di tengah dua bab ini adalah “Kaitan dengan Bisnis Keluarga Cikeas.” Bab-bab itu dilengkapi dokumen foto, termasuk foto cucu SBY, Almira Tungga Dewi dalam pangkuan Anissa Pohan.

Karena tidak ada hal-hal dan informasi baru, menurut saya, buku ini terlalu disikapi luar biasa. Mengherankan karena itu, mereka yang merasa menjadi bagian atau dekat dengan kekuasaan kemudian meradang menyikapi terbitnya buku George yang menurut informasi, sebetulnya akan diterbitkan saat musim kampanye Pemilu lalu itu. Sebagian dari mereka bereaksi biasa-biasa saja, sebagian lagi malah berlagak sebagai orang paling terhormat dan paling pintar.

Lalu Minggu pagi tadi, Denny Idrayana S.H., LL.M., Ph.D., staf khusus presiden itu, menyempatkan menulis status di Facebook-nya soal buku. Kata dia, “Buku sampah. Informasi sampah. Gosip sampah. Kalaupun didapat, ya langsung masuk tempat sampah, tidak usah pula terlalu ditanggapi atas nama kebebasan berpendapat pula, ah ora pantes je! Keep fighting for the better Indonesia. Just Doa and Do the best!”

Saya tidak tahu, apakah pernyataan Denny itu, untuk menanggapi buku George atau tidak. Saya hanya tahu, setiap hari Denny pasti menghasilkan sampah meski dia tak pernah bekerja sebagai pemulung sampah. Atau kalau pun benar, buku George dianggap sampah, menurut saya, sesampah-sampahnya buku itu masih lebih baik dari orang yang menganggap buku sebagai sampah.[Rusdi Mathari]

Desember 19, 2009

sinisme infotainment vs luna maya

Isu Manohara Odelia Pinot mengalahkan "pamor" berita politik? Bahkan, yang tergolong agenda politik nasional? Nyatanya, iya. Dan tanpa dianalisis dengan pisau analisa yang tajam pun, jawabannya akan selalu iya. Hukum pasar yang merupakan cerminan selera masyarakat memang selalu berpihak kepada bidang hiburan dibandingkan bidang lain. Terlebih lagi layar kaca? Bukankah berbagai riset memperlihatkan jumlah penonton tertinggi adalah kaum hawa. Dan mohon maaf - ini tidak ada kaitannya dengan sinisme gender - bukankah kaum perempuan lebih berselera terhadap sajian-sajian yang ringan dan menghibur? Jadi kenapa juga harus heran? Dan, bagaimana dampaknya jika durasi program infotainment mulai mendekati kapasitasnya yang diberikan program berita?

Tanpa disurvei dan dihitung secara quick count, saya akan memastikan program infotainment akan makin bersinar. "Makin berbeling-beling," kata presenter program infotainment Insert di TransTV, Cut Tari. Ibarat sebuah pasar swalayan, kabar seputar selebriti ditempatkan di rak mana pun akan selalu dicari orang. Terlebih lagi bila "produk" itu disediakan rak yang lebih strategis. Maka, hiburan akan semakin berkibar dan memukul bidang-bidang masalah lain. Apalagi politik yang bikin kepala pusing dan rambut rontok. Pilpres? Hare gene ngomongin pilpres?!

Maka sangat wajar bila demam Manohara mampu mengungguli popularitas SBY atau capres-capres lain. Jangan heran bila drama Manohara bisa mengalahkan kesakralan pilpres. Selain diunggulkan secara bidang masalah, hal itu ditunjang jatah durasi yang makin membengkak. Setiap stasiun televisi paling tidak menyediakan slot selama 1,5 jam per hari untuk program infotainment. Sedangkan program berita memiliki durasi rata-rata 2,5 jam per hari. Bisa dibayangkan bila kasus Manohara menguasai durasi di setiap program infotainment di setiap stasiun televisi? Betapa ia mendapat jatah durasi teramat besar, plus cuma-cuma alias gratis. Sedangkan para peserta pilpres tampil hanya beberapa menit saja di setiap program berita.

Ketika tengah "berjuang" untuk memakmurkan keluarga pada 1996-an, saya juga sempat menjadi penulis lepas di sebuah rumah produksi yang membuat sebuah program infotainment. Saat itu, program gosip seputar selebriti masih dua dan hanya ditayangkan oleh sebuah stasiun televisi. Jadi masih belum seramai sekarang dan saat itu, sang "saudara tiri" memang masih bayi.

Saya tidak akan bercerita soal liku-liku keterlibatan dalam rumah produksi itu. Namun, saya hanya bertutur soal pelajaran berharga saat diminta mengemas setiap item dalam program itu. "Berita infotainment itu isinya gambar-gambar sampah. Jadi, kita bermain dengan narasi. Usahakan setiap sampah ini jadi berita," kata Redaktur Pelaksana di rumah produksi itu.

Maksudnya gambar-gambar sampah adalah gambar-gambar yang tidak terlalu penting, tidak mengikuti kaidah grammar of the shots, dan "astrada" alias asal terang gambar ada. Artinya, peristiwa dalam gambar itu pun bukanlah peristiwa hebat dan memenuhi syarat-syarat nilai berita. Dan agar sampah itu menjadi berita, maka gambar-gambar sampah itu harus ditempeli data terbaru dari orang yang terlihat di gambar. Prinsif kesesuaian antara narasi dan gambar memang tidak berlaku. Yang penting, penulis memiliki data untuk diceritakan. Entah data pribadi, cerita katanya-katanya, dugaan-dugaan, dan berbagai macam jurus "pelintiran". Pokoknya, cerita nomor satu dan gambar jadi pelengkap syarat sebagai produk televisi. Sorry, saya tidak menyebut kumpulan data itu sebagai fakta. Karena, fakta tidak pernah berurusan dengan isu, rumor, gosip, dugaan, dan segala pelintiran.

Untuk menutupi kelemahan kontinuitas atau kesinambungan sequence, maka video editor memaksimal segala macam efek pada alat penyuntingan gambar. Selain itu, cara membacakan narasi atau voice over yang "khas" - bermain-main dengan intonasi dan aksen pada kata-kata tertentu - dan ilustrasi musik juga menjadi jurus andalan. Ingat Fenny Rose saat mempresentasikan dan membacakan narasi program infotainment Silet. Belakangan, gaya centil dan sedikit nyinyir juga diperlihatkan para presenter program para selebriti itu.

So, sejak masa perkenalan saya dengan jagat infotainment pada 1996 hingga sekarang, ternyata sang "saudara tiri" telah berkembang dengan pesatnya. Program infotainment dan rumah produksinya bukan lagi dua. Tapi, sudah menjadi belasan. Bahkan, sejumlah stasiun televisi memiliki pasukan khusus untuk memproduksi program tersebut secara in-house. Atau, sedikitnya menjalin kerjasama dengan rumah produksi. Sehingga, posisinya sudah merupakan saudara tiri yang sangat disayang oleh sang "raksasa".

Meskipun demikian, secara content, mohon maaf tidak berubah. Dari segi getting gambar memang makin luar biasa. Para reporter dan kamerawan semakin ulet, nekat, dan nyaris seperti Rajawali. Tapi dari segi pengemasan data dengan narasi sebagai menu utama, sekadar menjejalkan data dan kecurigaan-kecurigaan yang cenderung fitnah ke atas gambar. Sehingga tidak jelas lagi, mana data dan mana prasangka? Maaf, ya... (syaiful HALIM, GADO-GADO Sang Jurnalis: Rundown WARTAWAN ECEK-ECEK, Gramata Publishing, 2009, slug 20)

Desember 17, 2009

bedah "gado-gado sang jurnalis" di usahid jakarta

Universitas Sahid Jakarta, Rabu (16/12), menjadi gong pembuka roadshow buku GADO-GADO sang jurnalis: rundown WARTAWAN ECEK-ECEK ke berbagai kampus di Jakarta dan kota-kota lainnya di Tanah Air. Dalam acara itu, sang penulis, syaiful HALIM, didaulat untuk memaparkan topik "Menelisik Prospek Jurnalis Televisi di Tanah Air" dihadapan sekitar 200 mahasiswa.

"Pada era 1996, masyarakat dikejutkan dengan kehadiran Seputar Indonesia di stasiun RCTI dan Liputan 6 Petang di SCTV sebagai program berita dengan kemasan yang berbeda dibandingkan program-program berita yang ditayangkan stasiun TVRI," jelas syaiful HALIM. "Dan berkat kerja keras para jurnalis televisinya, kita bisa menyaksikan berbagai suasana mencekam, seperti penyerbuan kantor PDI di Jalan Pangeran Diponegoro, tragedi penjarahan pada Mei 1998, peristiwa Semanggi, dengan apa adanya dan memuaskan keinginantahuan pemirsa."

Selanjutnya, sang Wartawan Ecek-Ecek makin bersemangat merinci peran jurnalisme televisi dan kiprah para jurnalis televisinya. Sesekali ia menghubungkan penjelasan menyangkut situasi pengelolaan stasiun televisi dan kejayaan para jurnalisnya itu dengan isi buku -- yang memang membahas masalah-masalah itu. Termasuk, isu-isu hangat seputar peliputan tragedi peledakan bom di kawasan Mega Kuningan dan perburuan gembong teroris Noordin M. Top.

"Di tengah keprihatinan krisis keuangan global, campur tangan pemilik modal terhadap kiprah lembaga pers di masing-masing stasiun televisi, dan juga kecemasan akan masa depan stasiun televisi nasional setelah Undang-Undang Penyiaran diberlakukan, jurnalis televisi akan tetap memiliki tempat," tandas syaiful HALIM. "Namun, para calon-calon jurnalis televisi harus memiliki bekal yang memadai, tidak asal-asalan, berharap kebaikan para senior, atau keberutungan. Tapi, kesiapan mental dan ilmu."

Sesi tanya jawab pada bedah buku itu menjadi kesempatan para peserta untuk menggali lebih dalam mengenai berbagai permasalahan jurnalisme televisi. Tanya-jawab pun berlangsung dengan semarak dan penuh antusias. "Pada poinnya, apa keunggulan buku ini dibandingkan buku-buku sejenis?" tanya seorang peserta.

Sang Penulis pun merinci satu per satu nilai lebih buku yang ditulisnya selama tiga bulan itu. Yang pasti, jelas syaiful HALIM, buku tersebut membuat inspirasi yang sangat penting bagi para peminat dunia jurnalistik atau calon-calon jurnalis televisi. "Selain itu, buku ini memaparkan pengetahuan berharga jurnalisme televisi secara teori dan praktik. Khususnya, menyangkut teknik peliputan di berbagai bidang masalah," tambahnya.

Bahkan, kata syaiful HALIM, buku itu pun mengungkapkan pembekalan sebagai produser program harian atau program khusus. "Bahkan, ketika sang jurnalis televisi bersiap-siap membidik kesibukan lain. Yang pasti, jurnalis televisi akan selalu mendapat tempat dan menghamparkan kenikmatan petualangan nan tiada tara," tegasnya disambut tepuk tangan para peserta.[]

Desember 12, 2009

bedah GADO-GADO SANG JURNALIS

Krisis keuangan global dan pembelakuan Undang-Undang Penyiaran menyengat industri televisi di Tanah Air. Bagaimana dengan masa depan lembaga pers di lingkungan stasiun televisi, akan menjadi suram atau sebaliknya?

Pertanyaan serius dan ironi itu muncul seiring dengan rumor tawaran pensiun dini (baca: PHK terselubung) dan gonjang-ganjing yang mewarnai perjalanan lembaga pers di stasiun televisi beberapa tahun ini. Beberapa jurnalis televisi (atau mantan) menuliskannya dalam blog atau menerbitkannya melalui jejaring sosial facebook. Artinya, diam-diam memang ancaman "madesu" memang tengah mengintai para jurnalis televisi.

Entah kesengajaan atau tidak, ternyata isu itu juga muncul dalam buku GADO-GADO sang jurnalis; rundown WARTAWAN ECEK-ECEK yang ditulis jurnalis SCTV, syaiful HALIM. Bahkan, lengkap dengan gambaran "politik ecek-ecek" yang terjadi di lembaga pers di sejumlah stasiun televisi, yang diduga untuk mengkebiri ketajaman dan kemapanan lembaga pers tersebut. Dan untuk mempertegas atmosfir keprihatinan dan kenyataan di dalamnya, sang Wartawan Ecek-Ecek akan berbicara langsung pada:

Rabu, 16 Desember 2006
Pukul 13.00-15.00 WIB
Bertempat di Auditorium Kampus Universitas Sahid Jakarta, Jalan Profesor Dr. Soepomo, Jakarta Selatan
Dengan topik "Menelisik Prospek Jurnalis Televisi di Tanah Air"

"Saya hanya bisa mengatakan, jutaan anak-anak bangsa dari berbagai kalangan masih menjadikan stasiun televisi sebagai salah satu impian. Ribuan mahasiswa dari fakultas-fakultas tertentu masih membidik dunia jurnalime televisi sebagai salah cita-cita," tegas sang Wartawan Ecek-Ecek, syaiful HALIM, dalam blognya.

Benarkan masa depan para jurnalis televisi akan suram pada masa-masa mendatang? Adakah buku GADO-GADO sang jurnalis: rundown WARTAWAN ECEK-ECEK membuktikan kekhawatiran itu?

Untuk mendapatkan jawaban paling akurat, ada baiknya menbaca buku itu terlebih dahulu dan mengikuti penuturan penulisannya pada workshop singkat ini.

JANGAN IKUTI ACARA INI, BILA ANDA INGIN DISEBUT ECEK-ECEK!

Desember 06, 2009

menyoal gado-gado sang jurnalis

Sesaat setelah buku Gado-Gado Sang Jurnalis: Rundown Wartawan Ecek-Ecek memasuki rak toko buku, seorang sahabat menyodorkan dua kritik serius kepada saya. Yakni, soal pemilihan tokoh "saya" dan momen peluncurannya yang dianggap berbanding terbalik dengan kondisi sekarang.

"Kenapa juga harus sampean sendiri yang menjadi kendaraan cerita. Apa tidak khawatir buku itu bakal disebut otobiografi? Bahkan, sampean bisa dicap pemuja aliran narsis?!"

Astaghfirullah. Buru-buru saya membuka lembar demi lembar buku itu dan membacanya secara seksama. Seteliti, mungkin. Kali ini, saya harus memastikan kebenaran kesan itu. Dan jurus memilih posisi sebagai pembaca harus saya pilih. Karena, saya membutuhkan jawaban obyektif.

Kalau hal itu terbukti benar, maka sesungguhnya saya tengah dihadapkan pada dua persoalan besar. Pertama, saya telah melanggar komitmen spiritual untuk istiqomah berzuhud secara batin. Kedua, saya telah melanggar komitmen berkesenian untuk tidak melakukan -- maaf -- masturbasi!

"Setiap amal tergantung niatnya. Katanya guru saya, hahaha...," sahut saya mencoba menanggapi kritik serius itu seraya berpura-pura mengabaikan konflik batin di pikiran.

Namun, di balik kutipan yang sejatinya hadits Rasulallah SAW itu saya ingin bertutur bahwa alasan-alasan "pelanggaran" komitmen secara spiritual atau berkesenian itu. Ketika harus memilih kendaraan "saya", seperti juga telah dipaparkan dalam kata pengantar, hal itu lebih disebabkan untuk mendapatkan kemudahan. Karena memilih tokoh lain pastinya akan dihadapkan berbagai persoalan administrasi, royalti, waktu, dan sejuta alasan lain.

Selain itu, mendapatkan tokoh dari kalangan "bawah" -- dunia jurnalistik televisi -- dengan banyak cerita juga bukan perkara gampang. Karena, bisanya kalangan "bawah" sangat sedikit mendapatkan kesempatan untuk menabung pengalaman dan cerita.

Daripada niatan membagi pengatahuan dan pengalaman terhambat masalah karakter, maka diputuskanlah "saya". Untuk mengimbangi dominasi "saya", saya juga menyediakan ruang untuk teman-teman lain -- dari kalangan "bawah" -- yang selama ini tidak tersentuh tinta sejarah. Dan menorehkannya dalam bentuk cerita atau foto. Dengan porsi kecil itu saya berharap, pembaca juga mengenal "wartawan ecek-ecek" lain yang selama bertahun-tahun ini meramaikan jagat pertelevisian kita.

"Apa mereka memang layak masuk catatan sejarah itu?"

"Iya. Selama ini publik lebih mengenal kalangan 'atas' atau selebritas -- presenter atau anchor program berita -- yang sering tampil di layar kaca. Padahal di balik kecemerlangan mereka juga terdapat para praktisi lain yang angat bekerja keras. Buat saya, masyarakat juga perlu menjadikan orang-orang itu inspirasi. Orang kalangan 'bawah' pun berhak menjadi inspirasi," jelas saya meyakinkan.

Tentang kritik kedua?

Saya sangat tahu, arah kritik itu ditujukan kepada situasi gonjang-ganjing yang belakangan ini dialami sejumlah stasiun televisi nasional. Entah menyangkut keterlibatan pemilik modal atau jajaran pengelola stasiun televisi secara langsung dalam menata lembaga pers di dalamnya. Atau soal masa depan pertelevisian itu yang tengah diuji krisis keuangan global atau pelaksanaan Undang-Undang Penyiaran. Singkatnya, efisiensi yang berujung pada pemangkasan karyawan. Dan, tentu saja, masa depan lapangan pekerjaan di bidang penyiaran.

Kali ini, saya hanya bisa mengatakan, jutaan anak-anak bangsa dari berbagai kalangan masih menjadikan stasiun televisi sebagai salah satu impian. Ribuan mahasiswa dari fakultas-fakultas tertentu masih membidik dunia jurnalime televisi sebagai salah cita-cita. Dan mereka membutuhkan referensi. Baik menyangkut teori keilmuannya maupun praktik nyata di lapangan. Bahkan, peta "politik" di dalamnya.

Bahwa momen peluncuran buku dan kondisi usaha stasiun televisi yang berbanding terbalik bukanlah penghalang untuk terus berbicara tentang dunia jurnalisme. Khususnya, jurnalisme televisi. Sebagai pengetahuan atau ilmu, jurnalisme tidak akan pernah mati dan masih akan terus berkembang sejalan dengan perubahan-perubahan zaman. Karena itu, buku-buku yang berkaitan dengan masalah itu pun masih sangat dibutuhkan tanpa terusik situasi lapangan kerja.

Dan untuk ke dalam, wawasan tentang jurnalisme televisi itu juga membutuhkan otokritik. Ketika dunia tersebut menempati papan atas dan dalam kesombongan yang teramat sangat, para pengelolanya lupa dan lengah bahwa tren selalu berputar dan minat penonton juga ikut bergeser. Pada akhirnya, kebijakan pemilik modal dan pengelola stasiun telivisi pun harus berakrobat untuk mempertahankan laju usahanya.

"Bagian itulah yang saya pikir sangat ironi," kata teman saya lirih.

Ironi?

Buat saya dan teman-teman dari kalangan "bawah" yang termasuk dalam cerita buku, baik yang masih bertahan maupun resign, hal itu bukan sekadar ironi. Tapi, sangat ironi. Bahkan, sangat-sangat ironi![gado-gado SANG JURNALIS]