September 28, 2009

cuman kitab suci yang bebas dari kepentingan!

Al-Jazirah. Sebuah stasiun tv terbesar di Timur Tengah yang bermarkas di Qatar jelas punya kepentingan. Dan lantaran kepentingan itulah mereka lahir. Salah satu kepentingan yang jelas terlihat mata adalah membela hak-hak muslim yang tertindas. Semula pemberitaan Al jazirah biasa-biasa saja. Namun sejak perang AS-Irak berkecamuk, mulailah stasiun ini menunjukkan jati diri sebenarnya. Stasiun TV itu telah menjelma menjadi "penyambung lidah' Usamah bin Ladin, sehingga tv itu sempat sengaja beberapa kali mewartakan secara ekslusif pernyataan tokoh-tokoh jaringan Al Qaidah.

Gerahlah Gedung Putih, bahkan pada pada bulan April 2004 Bush bersama Tony Blair sengaja bertemu yang salah satunya untuk ngebahas pengeboman kantor pusat Al Jazirah di Doha berikut perwakilan2nya di luar negeri. Menurut mereka, berita yg selama ini disampaikan merugikan AS dalam perang Irak.

Salahkah para wartawan Al Jazirah itu karena berpihak pada salah satunya? Mestikah mereka disebut para pelacur hanya karena mensukseskan misinya?

Pada tahun yang sama, AS ternyata mendanai 100% sebuah stasiun TV berbahasa Arab yang berbasis di Kairo Mesir. Al-Hurra namanya. Kantor berita ini berniat mengimbangi pamor Al Jazirah dan Al Arabiyah yang sudah ada duluan, dan ini untuk merebut hati serta mengubah opini Timteng. Meski disebutkan Al Hurra di set-up independen dan beroperasi di luar AS, namun pada kenyataannya tetap untuk kepentingan AS.

Salahkah wartawan Al Hurra yang telah digaji oleh pemerintah AS karena sudah terang2an mengedit sekehendak selera bosnya untuk diberitakan ?

Ah, gua kira tak jauh beda dengan TV-TV lain di mana saja...Tak di negeri anta-branta sana, tak di negeri kita yang terlampau beradab sini!! Apalagi untuk kepentingan bisnis... tentu ada hitung-hitungan untung ruginya... kalau salah perhitungan, jadilah seperti TV7 - Lativi yang berganti wajah.... atau TVRI yang meski luas jangkauannya, tapi hampa peminatnya....

Andaipun mau ncari media yang bebas dari kepentingan, itulah dia kitab suci namanya... itupun kalau tidak salah dipahamkan.... kalau ndak, tentu sama: sama-sama untuk kepentingan secuil orang saja...

MERDEKA!! [cibro, politikana.com]

selamanya jurnalis [televisi]


Saya akan mengawali "cerita" ini dengan sebuah tulisan yang dimuat di blog.liputan6.com. Kenapa harus tulisan tersebut? Pertama, karena saya ingin berbelangsungkawa atas musibah peledakan bom di dua hotel ternama di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan, 16 Juli 2009.


Bicaralah, dengan Kata-Kata

Aku sangat yakin engkau bisa berkata-kata
Aku juga paham engkau bisa sampaikan maksud Bicaralah dengan mulut dan pikiran
Agar engkau merasa lega dan terpuaskan
Atau barangkali bisa penuhi segala hasrat

Aku akan mengerti bila engkau deretkan kalimat
Aku juga bisa tersadar bila engkau bertutur tujuan
Bicaralah dengan mulut dan hati
Agar engkau merasa senang dan kegirangan Atau mungkin bisa perlihatkan keinginan

Mohon
: bukan dengan gelegar halilintar dan kepulan asap hitam

Tangerang, 17 Juli 2009


Saya ingin menulis panjang monolog yang berkumandang di Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton, 16 Juli 2009 lalu. Tapi, keterbatasan memahami semiotik berbahasa menjegal niat itu. Karena, saya memang tidak mengerti apalagi mampu memaknai pesan itu. Sehingga, hanya kalimat-kalimat pendek tak bermakna juga yang muncul. Persoalan berbahasa?

Salah satu karya Yang Maha Pencipta yang tidak pernah tuntas saya kagumi adalah bahasa. Betapa jutaan manusia menghampar di atas Bumi dengan keunikan bertutur, berkata-kata, berucap, dan bercerita. Bila kita persempit dalam wilayah kabupaten saja, kita telah menjumpai sejumlah bahasa pribumi yang menjadi pengantar komunikasi penduduk di tempat itu. Lantas dari satu bahasa, kita juga akan mendapati perbedaan-perbedaan kecil menyangkut dialek, logat, atau aksen.

Dan bila kita mau teliti dan mengembangkan terus kekaguman kita akan kekayaan bahasa, kita akan segera tahu bahwa Yang Maha Kuasa juga menganugerahkan hambaNya dengan kreativitas nan tak terbatas. Sehingga, mereka mampu mengembangkan bahasa dalam bentuk-bentuk yang lebih universal. Dan tidak sebatas kalimat dan kata-kata yang disampaikan secara lisan. Persoalannya, apakah "bahasa" itu mampu menjadi pengantar untuk mengungkapkan isi hati?

Sayangnya, tidak semua orang, termasuk saya, memiliki kemampuan untuk mencerna apalagi memahami isi hati sebagaimana yang dimaksud. Meski, pesan itu dihadirkan dengan gema yang begitu kuat. Termasuk, drama menegangkan Temanggung yang di tengah gulita malam hingga pagi menerang, 7 dan 8 Agustus 2009. Dan, dengan kepul asap putih dan letusan yang terus menerus.

Lagi-lagi, saya tidak mampu mamahami bahasa yang digunakan. Apalagi memahami hakekat makna di dalamnya. Kenapa tidak berbicara dengan kalimat dan kata-kata?

Tangerang, 9 Agustus 2009



Tulisan di atas dibuat dalam dua kondisi. Pertama, pada 17 Juli 2009, sehari setelah peristiwa peledakan bom bunuh diri di Hotel JW Marriot dan Hotel Ritz Carlton. Sembilan orang tewas, termasuk warga negara asing, dan puluhan lainnya terluka. Dan seperti biasa seketika semut-semut media massa berdatangan dan mengais fakta demi fakta secerdas mungkin. Bahkan, mereka juga memboyong perlengkapan siaran langsung. Sehingga, di luar keceriaan otak terorisme atas sukses pesta “perkawinan” itu dan kekesalan polisi atas “kelengahan” menjaga kesakralan hajatan pemilihan presiden, para pengelola lembaga pers di lingkungan televisi bertarung secara terbuka. Head to head.

Intinya, apalagi kalau bukan berusaha untuk melaporkan peristiwa selekas-lekasnya. Entah berupa gambar-gambar rekaman telepon seluler dari saksi mata di lokasi kejadian, gambar-gambar ekslusif yang “dibeli” dari pihak tertentu, rekaman CCTV hotel yang tengah dijadikan bahan penyelidikan, atau kerja keras para kamerawan di masing-masing stasiun televisi, yang ditayangkan secara utuh atau tanpa editing. Sebaiknya saya tidak membahas bagaimana gambar-gambar yang harusnya menjadi bahan penyelidikan kasus terorisme bisa langsung ditayangkan secepat itu. Khawatir jadi fitnah. Atau, berupa gambar-gambar yang telah dilengkapi narasi atau voice over reporter di lapangan. Atau juga, berupa gambar-gambar yang disertai analisis plus teori-teori “duga-duga” sang reporter yang membingungkan.

Sedangkan bagian kedua yang tidak lagi berpuisi-puisi, dibuat selang tiga minggu setelah peristiwa pertama. Persisnya, ketika para penggelola lembaga pers di lingkungan televisi mendapat rejeki “macan”, berupa aksi penggerebegan Tim Detasemen Khusus 88 (tim antiteror-nya Mabes Polri) di rumah milik Muhdjahri di Desa Beji, Kedu, Temanggung, Jawa Tengah. Bahkan, dua stasiun televisi yang bersegmen pemberitaan menayangkan momen itu secara langsung. Live, saudara-saudara. Benar-benar, live! Dengan durasi yang berjam-jam atau terhitung dua hari.

Jangan bertanya pula, kenapa kedua stasiun itu mendapatkan hak istimewa sebagai “official broadcaster” untuk peristiwa sedasyat itu. Karena, jujur saja, saya memang tidak tahu. Bahkan, nalar otak kiri-kanan ini pun tidak sanggup menebak-nebaknya. Karena, ketakjuban akan durasi yang menayangkan adegan dor-doran secara terbuka dan lama itu benar-benar menutupi segalanya. Kok, bisa adegan violence yang demikian vulgar dan sadis ditayangkan secara live?

Sedangkan catatan kecil atas peristiwa kedua tersebut, lagi-lagi, soal pertarungan terbuka antarstasiun televisi terjadi di layar kaca. Masih dalam posisi head to head. Meski hanya diikuti beberapa stasiun televisi. Namanya saja pertarungan, tentu selalu ada tim yang berusaha tampil cemerlang dan gemilang. Baik menyangkut starting point penayangan maupun fakta yang dilaporkan. Sehingga, bisa-bisanya juga ada stasiun televisi yang maksa banget langsung berkesimpulan bahwa teroris yang diberondong peluru Tim Densus 88 adalah Noordin M. Top. Padahal, adegan penggerebegan masih berlangsung. Bahkan, jarak antara lokasi stand-up para reporter dan TKP sekitar 500 meter. Dan dalam suasana malam. Kok, ada yang berani melaporkan “fakta” tersebut? Bahkan hingga hari-hari selanjutnya? Dan baru mencoba meralatnya ketika polisi memastikan teroris tersebut adalah Ibrohim yang tidak memakai M. Top!

Sekedar membuktikan kehebatan? Boleh jadi. Namanya juga dalam suasana persaingan. Jadi boleh menghalalkan segala cara dan melupakan teori-teori dasar jurnalistik televisi. Bahkan, dasar-dasar jurnalistik! Agar tidak penasaran soal kenapa ada stasiun televisi yang memperoleh gambar CCTV yang mestinya masih jadi rahasia polisi dan mendapat kesempatan untuk mempersiapkan peliputan secara langsung di lokasi yang mestinya rahasia polisi juga, saya harus katakan secara positif bahwa hal itu terkait dengan kontak. Ingat-ingat kembali cerita soal membangun kontak, jaringan, link, atau kekerabatan dengan narasumber, yang harus dirintis sejak memasuki dunia jurnalistik. Bahkan, hal itu juga harus terus dilakukan setiap berpindah desk atau bidang masalah. So, sukses mendapatkan “keistimewaan” itu tidak lepas dari kepintaran orang-orang di lembaga pers tersebut untuk menjaga kedekatan dengan kontaknya. [syaiful HALIM, wartawan ecek-ecek, 2009 - POLITIKANA]

September 26, 2009

teror bom, adu cepat, dan jurnalisme ludah

Pemberitaan televisi kita soal bom di JW Marriott dan Ritz-Carlton dipenuhi dengan adu cepat berita serta "jurnalisme ludah" yang berisi omongan spekulatif, perbincangan konspiratif, dan pertanyaan klise yang kadang-kadang konyol.

Di antara semua stasiun televisi Indonesia, Metro TV yang paling cepat mengabarkan peristiwa peledakan bom di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton pada Jumat, 17 Juli 2009 lalu. Hari itu, sebelum pukul 08.15, Metro sudah menyiarkan bahwa ada ledakan di Hotel Ritz-Carlton. Pertama kali berita dikabarkan lewat mata acara Headline News, lalu disusul acara berita khusus bertajuk Breaking News. Sebagai televisi berita, Metro terbiasa menghadapi peristiwa-peristiwa tak biasa semacam ini dengan membuat "acara dadakan" yang durasinya panjang dan isinya khusus membahas satu peristiwa.

Ledakan di JW Marriott terjadi pada pukul 07.47, sementara di Ritz Carlton pukul 07.57. Hanya beberapa menit kemudian, saya yang berada ratusan kilometer dari Jakarta sudah menyimak kabar soal ledakan itu, meski tentu saja, belum berupa informasi yang lengkap. Kemungkinan besar Metro TV menerima kabar kilat ini dari pemirsanya. Berita-berita soal ledakan tersebut pada detik-detik awal memang hanya berupa informasi lisan yang selama beberapa menit diulang-ulang.

Presenter Breaking News, selama beberapa menit, selalu mengulang kalimat, "Pemirsa, beberapa waktu yang lalu telah terjadi ledakan di Hotel Ritz-Carlton, Kuningan, Jakarta." Hal semacam ini, meski agak membosankan bagi kita yang menonton, tapi merupakan laku tak terhindarkan dari sebuah organisasi berita yang ingin secepat mungkin mengabarkan sesuatu pada khalayaknya. Pada momen-momen itu, saya kira, pengetahuan para awak redaksi Metro soal ledakan tersebut tak banyak berbeda dengan para penontonnya. Jadi, memang tak ada yang bisa disiarkan selain mengulang kalimat yang sama. Jangankan gambar, informasi lebih banyak soal ledakan itu saja belum didapat.

Beberapa menit kemudian, setelah informasi lisan dari presenternya, Metro mulai menghubungi sejumlah orang yang disebut sebagai saksi mata ledakan. Beberapa orang diwawancarai secara langsung via sambungan telepon. Ini berlangsung dalam hitungan setengah jam lebih. Dan, tetap masih belum ada gambar. Informasi yang dikumpulkan-sekaligus disiarkan langsung pada kita-melalui wawancara langsung ini hanya sepotong-potong, sama sekali tidak sistematis, dan banyak terjadi pengulangan yang mubazir. Hal semacam ini terjadi karena presenter yang melakukan wawancara tidak melontarkan pertanyaan secara sistematis. Seharusnya, pertanyaan-pertanyaan dasar yang mencakup 5W+1H diajukan lebih dulu, baru dilanjutkan dengan persoalan yang lebih mendalam.

Yang sangat saya sayangkan, pada awal-awal pemberitaannya, Metro TV gagal menangkap fakta bahwa pagi itu terjadi dua ledakan di dua tempat yang berbeda. Selama setengah jam lebih, Metro hanya mengabarkan bahwa ledakan terjadi di Hotel Ritz-Carlton, sama sekali tak menyinggung nama JW Marriott. Saya yang menyimak beberapa pemberitaan di stasiun televisi lain sempat bingung: sebenarnya, ada berapa ledakan, di berapa tempat. TV One, televisi berita saingan Metro, lebih tepat menangkap fakta karena sejak awal sudah menyiarkan adanya dua ledakan: satu di JW Marriott, satu di Ritz-Carlton.

Metro TV juga memiliki "cacat akurasi" karena seorang narasumber yang diwawancarainya sempat mengatakan bahwa ledakan di Ritz-Carlton terjadi akibat genset yang meledak. Narasumber yang menyebut informasi ini seorang pekerja kantoran yang kebetulan ada di dekat tempat ledakan. Ia mengatakan, informasi soal genset yang meledak itu didengarnya dari "seorang polisi". Presenter Breaking News Metro TV sempat menyebut informasi ini "seharusnya cukup dapat dipercaya".

TV One memang lebih akurat, tapi sebagai televisi berita, seharusnya TV One malu karena terlambat menyiarkan berita ledakan itu selama lebih setengah jam dari Metro. Ketika Metro sudah mulai menyiarkan berita ledakan, TV One masih tenang-tenang saja dengan acara "Apa Kabar Indonesia"-nya yang membosankan itu. Saya sempat berpikir: apakah para awak TV One tak menyimak Metro, saingan terberatnya itu?

RCTI adalah stasiun televisi ketiga yang menyiarkan berita ledakan. Tapi Trans TV yang pertama kali menayangkan rekaman gambar soal peristiwa itu. Dibandingkan Metro, TV One, dan RCTI yang belum memiliki gambar dan hanya mengandalkan berita melalui wawancara langsung dengan orang-orang yang disebut sebagai "saksi mata"-sesungguhnya, kita tak tak pernah diyakinkan soal kredebilitas sumber-sumber ini-Trans TV menyajikan liputan yang lebih lengkap. Peristiwa ledakan dihadirkan secara lebih baik, dengan rekaman audio visual soal proses evakuasi korban yang mulai menarik empati kita soal dampak ledakan. Ketika Trans TV mulai menayangkan rekaman-rekamannya, stasiun televisi lain masih terus berkutat dengan wawancara telepon.
***

Lepas dari detik-detik awal kejadian, persaingan yang terjadi bukan lagi soal kecepatan. Perlombaan mendapatkan gambar, dan buru-buru memberi cap "eksklusif", merupakan bentuk kompetisi selanjutnya yang dilakukan stasiun-stasiun televisi. Metro TV dan TV One tetap bersaing paling ngotot. Bentuk kompetisi lain adalah menghadirkan "analisis" atas peristiwa ledakan bom tersebut, terutama soal siapa yang berada di balik aksi teror itu. Dalam lomba analisis ini, secara ironis, TV One harus diberi "tropi juara satu".

Melalui mata acara "Apa Kabar Indonesia" dan pelbagai tayangan berita dan talkshownya, TV One memang amat rajin membuat analisis. Bahkan, tema perbincangan di "Apa Kabar Indonesia Pagi" selama beberapa hari pasca-ledakan terus-terusan diberi tajuk "Analisis Peristiwa Bom". Sayangnya, apa yang disebut sebagai "analisis" ini tak lebih dari perbincangan-perbincangan spekulatif dan kadang-kadang bahkan konspiratif. Para narasumber yang diundang kebanyakan adalah orang-orang yang secara tiba-tiba diberi atribusi-atribusi lucu, semisal "pengamat terorisme", "pengamat intelijen", dan "pengamat keamanan". Parahnya, para presenter yang memandu pun kadang-ladang melontarkan pertanyaan-pertanyaan klise, diulang-ulang, dan bahkan konyol.

Saya masih ingat bagaimana seorang pembawa acara "Apa Kabar Indonesia Pagi" bertanya pada Hendropriyono, Mantan Kepala BIN, berapa persen jumlah gedung di Jakarta yang sudah memiliki metal detector? Keesokan paginya, sang pembawa acara yang sama ternyata bertanya pada seorang peneliti LIPI, apa sih sebenarnya kegunaan metal detector? Pertanyaan-pertanyaan tidak cerdas semacam itu bukan sekali-dua diajukan. Orang-orang seperti Andri Jarot dan Indy Rahmawati-dua nama yang belakangan amat sering memandu "Apa Kabar Indonesia Pagi"- sering kali terjebak pada klise-klise tak berguna semacam itu.

Ketimbang melakukan penelusuran investigatif yang menghasilkan fakta-fakta, TV One memang lebih suka mengundang "para pengamat" untuk ditanyai. Bagi saya, ini sebuah kemalasan, dan kalau kecenderungan ini terus-terusan berlanjut, predikat "televisi berita" sebaiknya diganti menjadi "televisi talkshow" saja-mengingat, jumlah talkshow di TV One amat banyak juga kan? Tapi kemalasan semacam itu memang tabiat jurnalisme Indonesia yang sulit dibendung. Lebih suka menanyai narasumber, lalu menjadikan pernyataan narasumber tadi sebagai berita, itulah kemalasan yang saya maksud.

Dalam ihwal tertentu, hal tersebut sama sekali bukan masalah. Tapi dalam peristiwa semacam ledakan bom kemarin, "jurnalisme ludah" semacam itu sungguh membosankan, dan terutama sekali membingungkan. Bagaimanapun, yang dibutuhkan bukan omongan spekulatif yang kabur, konspiratif, atau bombastis. Yang dibutuhkan publik pada masa pasca-teror adalah kejernihan dan kejelasan. Pendeknya, yang dibutuhkan adalah jurnalisme dengan akurasi, bukan jurnalisme yang (hanya) dipenuhi ludah "para pengamat".

Ketika melakukan kajian atas berita-berita Bom Bali I, Eriyanto dan Agus Sudibyo menyimpulkan bahwa kebanyakan media massa di Jakarta lebih suka mengutip komentar "para pengamat" ketimbang melakukan pencarian fakta-fakta di lapangan. Salah satu yang paling sering mengutip para komentator waku itu adalah Harian Republika. Satu penyebabnya karena kala itu fakta-fakta yang ditemukan polisi cenderung "memojokkan" citra umat Islam sehingga, sebagai harian yang memihak Islam, Republika berusaha menyajikan berita-berita dengan perspektif beda.

Mereka yang rutin membaca Republika pada masa-masa itu mungkin akan ingat bahwa harian itu berusaha mengarahkan opini tentang keterlibatan Amerika Serikat dalam Bom Bali I. Karena fakta penyidikan polisi tak mendukung opininya, Republika mengutip komentar-komentar dari para tokoh, yang dianggap sebagai "pengamat", yang mendukung teori konspirasi keterlibatan Amerika Serikat. Teori konspirasi semacam itu akhirnya tenggelam dengan sendirinya, dan kini orang tahu harus menyalahkan siapa atas bom di Bali. Barangkali, kebenaran yang ditemukan jurnalisme soal Bom Bali I dan kita pegang hari ini memang bukan kesahihan yang paripurna, tapi kualitas semacam itu memang bukan tujuan jurnalisme.

Yang terjadi pada Republika tentu berbeda dengan TV One. Republika mengutip para komentator karena alasan ideologis, sementara TV One melakukannya dengan alasan yang kita tak sepenuhnya tahu. Mungkin demi bombasme, atau memang "analisis" semacam itulah yang mereka bisa tampilkan. Yang jelas, keduanya dipenuhi "jurnalisme ludah" yang tidak menyehatkan bagi publik. [Haris Firdaus, politikana.com]

lagi, tv one dan metro tv

Ini pernak-pernik media watch pekan yang lalu. Ada yang sangat menjengkelkan dalam Metro Hari Ini, Jumat yang lalu. Sebelum update kabar-kabar terbaru seputar bom Mega Kuningan, Kania Sutisnawinata membuka percakapan dengan reporter at large Nurudin Lazuardi (apa ya terjemahan reporter at large: reporter lepas atau reporter kabur?) dengan pertanyaan: apa kabar terkini? Lazuardi menjawab: Kita mendapatkan identitas siapa Mr. X pelaku bom bunuh diri. Yang dimaksudkan Lazuardi adalah identitas orang yang diduga pelaku bom bunuh diri di Marriott. Terus terang saya terkesima. Hebat sekali Metro mendapatkan identitas pengebom.

Saya panteng terus Metro, adzan maghrib tidak saya pedulikan. Dan penjelasan Lazuardi (setelah berkali-kali dipotong iklan) sangat mengecewakan. Lazuardi "berhasil" melakukan tracking terhadap pengebom Marriott dari sopir taksi yang membawa orang yang diduga pengebom itu ke Marriott. Atas dasar keterangan sopir taksi dan juga keterangan anggota security Marriott yang sempat berdialog dengan Mr. X, maka Lazuardi dengan "gemilang" berhasil menyimpulkan bahwa Mr. X itu adalah orang Indonesia. Tak lebih dari ini kesimpulannya. Memang ada dugaan sebelumnya Mr. X bukan orang Indonesia karena tinggi badannya antara 180-190 cm. Tetapi, kata Lazuardi, keterangan sopir taksi dan security bahwa Mr. X fasih berbahasa Indonesia, menyimpulkan bahwa Mr. X orang Indonesia. Sekali lagi, tak lebih dari itu temuan Lazuardi dan Metro hari itu: Mr. X orang Indonesia. Inilah yang dimaksud dengan identitas itu. Mbok yao...

Setelah kecewa dengan Metro saya pindahkan ke TV One. Di Mega Kuningan ada Grace Natalie dan Ecep S. Yasa dan di studio dipandu oleh Rahma Sarita dan seorang lagi yang saya lupa namanya (nama penyiar laki-laki sering tidak saya ingat). Lagi-lagi di sini saya terkesima. TV One menampikan foto close-up Arina dan Tuti dan memberi keterangan sebagai istri dan mertua Noordin M Top. Etiskah foto mereka dipajang? Ada beberapa hal. Pertama, belum dapat dipastikan bahwa suami Arina adalah Noordin. Berdasarkan keterangan Arina, suaminya yang mengaku bernama Ade Abdul Halim mempunyai postur yang berbeda dengan Noordin. Kedua, saya khawatir Arina adalah korban dari ayahnya sendiri (Baridin, yang sekarang buron). Apakah Arina menikah dengan laki-laki misterius itu atas paksaan ayahnya? Faktanya Arina tiba-tiba dipanggil pulang dari Jogja dan dinikahkah begitu saja di kampung halamannya di Cilacap. Kita khawatir Arina dan ibunya hanyalah korban, tetapi TV One sudah memberi label kepada mereka sebagai istri dan mertua teroris.

Dengan bangga Ecep S. Yasa mengatakan bahwa ia juga mempunyai foto dua anak Arina. Tapi, katanya, tidak etis menampilkannya di layar kaca. Lho, bukannya memajang ibu dan nenek dua bocah ini dengan label istri dan mertua Noordin, juga tidak etis? Kejengkelan saya bertambah ketika Rahma salah ucap dengan mengatakan anak Arina ikut ditangkap polisi. Tentu saja "ditangkap" bukan kata yang tepat (Arina dan ibunya dijemput polisi untuk dimintai keterangan dan kedua anak Arina, demi keamanan ikut dengan ibunya). Aneh, crew TV One gemar memakai kata "ditangkap". Dulu, reporter Paramitha Soemantri menyebut Burhanudin Abdullah "ditangkap KPK". Seharusnya ditahan KPK. (BTW saya pernah kesengsem sama Rahma. Kok sekarang sering blunder dan provokatif ya? Terus terang jadi ilfil :)) [Orang Marginal, politikana.com]

sampai wartawan dua tv pun terpaksa jadi "pelacur" demi golkar 1 yang peot

Golkar 1 yang sudah kakek peot pun masih direbutin demi ngincar bagi-bagi kursi kabinet SBY jilid 2. Benar kata khatib shalat Ied, jangan-jangan Indonesia bubar justru setelah puasa selama satu bulan! Pindahin saja channel TV One dan Metro TV bila terus-terusan dijadikan alat kepentingan pribadi pemiliknya. Dan wartawan yang tak berkarakter pun jatuh menjadi “pelacur intelektual”.

Kalau jadi pemilik toko televisi, kita asyik bisa nonton secara paralel tayangan “Kick Andy” di Metro TV dan “Republik Mimpi” di TV One. Metro TV adalah milik Surya Paloh dan TV One milik Aburizal Bakrie. Kedua pengusaha ini tengah bersaing memperebutkan kursi Golkar 1, partai yang semakin peot karena perolehan suaranya semakin melorot. Tetapi tokh masih menjadi rebutan mereka berdua. Karena mereka masih berasumsi kalau menjadi Golkar 1, masih punya “bargaining position” dengan SBY, yang nyaris akan semakin mendekati kekuasaan seniornya Soeharto dalam mengangkangi kekuatan parlemen. Oleh karenanya, Surya Paloh dan Aburizal Bakrie secara maksimal memanfaatkan media elektronika yang dimilikinya tersebut secara optimal untuk saling “membunuh”.

Hanya kita sebagai penonton televisi menjadi sangat sebel. Andy F. Noya yang dibangga-banggakan sebagai sangat humanis, pembela rakyat dan tak mau disetir oleh siapapun pengusaha kelas kakap termasuk oleh bos Surya Paloh, ternyata “wartawan kelas ecek-ecek” juga. Saya menyesal banget menghadiri dies Emas ITB awal Maret 2009 dengan satu alasan mau terbang dari Kalimantan Tengah untuk datang ke ITB karena ingin melihat Andy F. Noya (orang luar ITB) menerima penghargaan ITB yang sangat terkenal di dunia sangat pelit itu; mengapa ITB sampai memberi penghargaan begitu tinggi pada seorang Andy F. Noya? Apakah pasca insiden ini Andy F. Noya akan mundur dari Metro TV kita tunggu saja.

Dan di channel lain, TV One, seorang Emha Aenun Najib, yang bangga disebut budayawan papan atas Indonesia, yang dulu juga sangat bangga “direken” oleh Soeharto karena diundang sangat eksklusif satu dua hari sebelum Reformasi, begitu gagahnya membela keluarga Bakrie dalam kasus lumpur Lapindo. Apa urusannya budayawan Emha lebih membela pengusaha kelas atas Indonesia dibanding membela korban lumpur Lapindo?

Kolega saya di media cetak terpandang begitu gundahnya dengan insiden dagelan di dua media elektronika ini, forward ke saya jawaban sms-smsnya dari tokoh Dewan Pers dan KPI. Jawabannya memang seperti orang yang sudah sangat ngantuk habis menonton kedua dagelan itu. Media, baik itu media cetak maupun media elektronika memang semakin kasat mata telah menjadi alat para pemiliknya memainkan kepentingannya. Bisa kepentingan bisnis, bisa kepentingan politis atau sekedar menjadi alat mendongkrak popularitas pribadi menjadi selebritas alias pesohor. Bagaimana penonton yang sangat sebel akan segera pencet “remote control” manakala Surya Paloh, pemilik Metro TV begitu seringnya berbuih-buih di depan Metro TV seolah sangat heroik dengan durasi 4 sampai 5 menit tanpa editing sama sekali dari Pemimpin Redaksi Metro TV yang tentu sangat takut sama “big boss”. Masih agak mending Aburizal Bakrie tak turun gunung, dan menganggap lebih pantas diwakili oleh sang putra mahkota Anindya Bakrie untuk sering muncul di TV One.

Inilah persis apa yang dikatakan oleh John Swinton, the former Chief of Staff for the New York Times, was one of New York's best loved newspapermen. Called by his peers "The Dean of his Profession", John was asked in 1953 to give a toast before the New York Press Club, and in so doing, made a monumentally important and revealing statement. He is quoted as follows:
“.......The business of the journalists is to destroy the truth; to lie outright; to pervert; to vilify; to fawn at the feet of mammon, and to sell his country and his race for his daily bread. You know it and I know it, and what folly is this toasting an independent press? We are the tools and vassals of rich men behind the scenes. We are the jumping jacks, they pull the strings and we dance. Our talents, our possibilities, and our lives are all the property of other men. We are intellectual prostitutes." [Cardiyan HIS, politikana.com]