Desember 30, 2009

gus dur = wali?

Inayah Wahid: "Waktu ke Jombang, Gus Dur serasa diminta datang oleh mbah KH Hasyim Asyhari. Waktu di Jombang, sempat bilang ke sepupunya agar dijemput pada 31 Desember ini."

Adakah beliau sudah mengetahui tanda-tanda panggilanNya? Kalau iya, artinya beliau memang memiliki maqom spiritual yang luar biasa dan pantas sebagian besar warga Nahdliyin menganggapnya wali. Paling tidak wali (pelindung) bagi kaum kecil.

Semoga Allah SWT melapangkan kuburnya dan menyediakan tempat terindah di alam sana. Kami akan selalu merindukanmu, Gus...[]

Desember 28, 2009

mengapa pekerja infotainment sering nekad berburu artis?

Jika anda adalah salah satu dari sekian banyak pemersa TV yang rajin menonton adegan yang memperlihatkan para pekerja infotainment mengejar para artis untuk di wawancarai, mungkin anda akan merasa heran.

Keheranan tsb terkait dengan beberapa hal seperti adanya kesan betapa para pekerja infotainment itu seperti memaksa untuk mengadakan wawancara terhadap artis yang pada saat itu sebenarnya tidak bersedia untuk diwawancarai.

Hak privasi dan kebebasan para artis itu pun seperti diganggu oleh para pekerja infotainment yang sering memburu mereka. Lebih dari itu jika artis yang bersangkutan tidak ada di rumah karena kesibukan tertentu atau mungkin juga karena menghindar, para pekerja infotainment itu tetap menunggunya hingga larut malam bahkan hingga pagi hari.

Seperti telah pernah diberitakan sebelumnya beberapa artis dan tokoh masyarakat seperti Aa Gym bukan saja merasa terganggu dengan kedatangan para pekerja infotainment tsb tapi juga sampai tidak dapat menahan kemarahannya kepada para pekerja infotainment ini.

Anehnya walaupun para pekerja infotainment sudah sering kali mengalami konflik dengan para artis dan tokoh masyarakat, bahkan para ulama sudah mengatakan kalau liputan gosip infotainment ini hukumnya haram, mereka tetap saja nekad menjalankan perkerjaannya dengan cara-cara seperti itu. Apa sebabnya ?

PEKERJAANNYA SEPERTI MENGEJAR SETORAN

Seorang pekerja infotainment yang bekerja di sebuah rumah produksi (PH), ketika diwawancarai oleh Detik.com menerangkan tentang liku-liku pekerjaannya. Dari keterangan tsb kita semua sedikit banyaknya akan bisa memahami, mengapa para pekerja infotainment itu sering nekad dan terkesan seperti memaksa ketika mewawancarai artis.

Dari keterangan tsb terungkaplah bahwa pekerja infotainment bekerja di bawah tekanan (under pressure), karena mengejar target yang dibebani bos mereka dalam waktu yang singkat, di samping juga harus bersaing dengan pekerja infotainment dari PH yang lain. Lebih detailnya para perkeja infotainment itu bekerja di bawah tekanan karena pola kerja sbb:

Program infotainment tayang setiap hari, akibatnya mereka sering pulang larut malam, bahkan sering tidak bisa libur. Kalau dapat libur itu pun tidak menentu.

Saat sedang sedang off (libur) mereka harus siap jika ada telepon dari kantor untuk mengejar artis tertentu.

Tidak jarang mereka harus menggarap dua tayangan sekaligus yang digarap perusahan.

Mereka harus rela menanti hingga larut malam hingga pagi hari untuk bisa meminta komentar atau tanggapan dari artis yang diburu terutama artis yang sedang terlibat kasus tertentu seperti kasus criminal, perceraian, kawin siri, dll.

Di samping mendapat keterangan dari artis yang diburu, hal yang lebih sulit adalah mereka harus bersaing untuk bisa mendapat gambar artis ybs. Tidak jarang hal ini menimbulkan konflik dengan artis ybs.

Semua tekanan yang mereka dapatkan dari pekerjaan tsb termasuk tekanan akibat konflik dengan para artis harus mereka hadapi terus, karena menurut pendapat mereka, “lebih baik di maki artis daripada disemprot bos.

Kalau dipikir-pikir, tampaknya tugas para pekerjaan infotainment ini ada kemiripan dengan supir metromini yang sering membawa kendaraannya dengan seruduk sana seruduk sini tanpa memikirkan kenyamanan orang lain, karena mengejar setoran yang ditargetkan oleh bos mereka.[Mas Abdi]

buku george, buku sampah?

BUKU Membongkar Gurita Cikeas, Di Balik Skandal Bank Century, mendapat iklan gratis. Hanya sepekan setelah diluncurkan di Yogyakarta 23 Desember silam, buku yang ditulis George Junus Aditjondro itu dibicarakan dan dicari banyak orang. Seorang teman yang dikenal dekat dengan George, malam ini dihubungi banyak wartawan yang meminta agar dibagi buku George. Dia tertawa dengan permintaan itu karena dia hanya punya satu dan sedang saya baca.

Benar luar biasakah buku mantan wartawan Tempo itu sehingga banyak orang mencarinya? Di Taman Ismail Marzuki Jakarta malam ini, saya membaca habis buku George itu. Sama dengan sebagian orang yang penasaran dengan buku itu dan belum membacanya, semula saya juga berharap menemukan “sesuatu” yang baru tentang hubungan Cikeas dengan skandal Bank Century seperti tertulis di judul buku dan belum diketahui orang. Halaman demi halaman saya baca dan juga memeriksa titik komanya. Hasilnya saya harus kecewa.

Isi buku George nyaris sama sekali tak ada yang baru, apalagi soal skandal Century itu. Dari 183 halaman buku itu, sebagian besar isinya hanya berupa potongan-potongan berita di media cetak atau tulisan orang lain yang sudah pernah dipublikasikan, dan sudah jamak diketahui orang. Kalau pun ada yang berbeda, itu hanya karena George menuliskan dengan runtut dan sistematis seolah-olah berdasarkan kajian ilmiah, dan mencantumkan beberapa dokumen seperti surat rekomendasi Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri waktu itu, Komjen (Pol) Susno Duadji.

Tulisan tentang Century, misalnya, hanya ditulis sebanyak dua setengah halaman di bab awal buku, dan isinya sama sekali bukan hasil penelusuran atau investigasi George. Sumbernya berasal dari Vivanews, Antara, Batam Pos, Inilah.com, tulisan Marisa Haque dan Harris Rusly.

Di bagian ini, George antara lain menulis, “Dari berbagai pemberitaan di media massa dan internet, nama dua orang nasabah terbesar Bank Century telah muncul ke permukaan, yakni Hartati Mudaya, pemimpin kelompok CCM (Central Cipta Mudaya) dan Boedi Sampoerna, salah seorang penerus keluarga Sampoerna, yang menyimpan triliunan rupiah di bank itu sejak 1998.”

Dua orang yang disebutkan namanya itu, oleh George lalu disebut-sebut sebagai penyumbang logistik SBY untuk musim Pemilu lalu. Nama-nama lain yang disebutkan, adalah beberapa deposan di Century, seperti PTPN Jambi, Jamsostek, dan PT Sinar Mas. Khusus untuk Boedi, George menyebutkan, dia masih sempat menyelamatkan sebagian depositonya senilai US$ 18 juta, berkat bantuan rekomendasi Susno Duadji, tertanggal 7 dan 17 April 2009.

Juga soal kaitan antara Keluarga Sampoerna dengan harian Jurnal Nasional. George hanya mengulang, dari apa yang sebetulnya sudah ramai diketahui kalangan jurnalis. Misalnya tentang Sunaryo mengalirkan dana Grup Sampoerna ke PT Media Nusa Perdana, penerbit harian Jurnal Nasional di Jakarta. Sunaryo adalah kolektor lukisan yang kaya raya, yang mengurusi pabrik kertas Esa Kertas milik keluarga Sampoerna di Singapura yang hampir bangkrut, dan sedang bermasalah dengan Bank Danamon.

Dana Antara
Dari semua isi buku George itu, saya hanya tertarik dengan tulisan soal Kantor Berita Nasional Antara yang disebut-sebut ikut menyumbang dana ke Bravo Center. Kalau Bravo Center yang dimaksud oleh George adalah salah satu sayap tim sukses SBY-Boediono pada Pemilu lalu, saya kira George kurang lengkap menuliskannya. Nama lengkapnya adalah Bravo Media Center, beralamat di Jalan Jalan Teuku Umar 51, Menteng, Jakarta Pusat dan email info@bravomediacenter.com. Lembaga ini didirikan dan dikelola Zulkarnaen Mallarangeng, 13 Feburari 2009. Entahlah sekarang.

Di musim kampanye Pemilu Presiden, Bravo Media Center pernah sangat aktif menurunkan tulisan seputar kampanye lewat situsnya di http://www.bravomediacenter.com dan mengundang para wartawan. Saat ini situs itu terbengkalai. Tak ada tulisan atau berita baru. Tulisan terakhir, tentang Boediono yang berdialog dengan petani di Bogor, dipublikasikan 16 Juni 2009.

Antara oleh George disebut mengalirkan dana ke Bravo Center Rp 40,6 miliar. Dana itu dialirkan Direktur Antara, Ahmad Mukhlis Yusuf lewat dana PSO (Public Service Obligation) kantor berita itu. Pengalihan dana itu kemudian menimbulkan ketegangan di dalam kantor berita itu. Namun kata George, karena rasa tanggung jawab yang besar dan sulitnya mencari pekerjaan, tidak ada karyawan Antara yang keluar meski informasi itu kini sudah sempat merembes ke luar.

Dana PSO Antara itu, menurut George, berasal dari alokasi PSO untuk empat BUMN: PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni), PT Kereta Api Indonesia (KAI), PT Pos Indonesia dan Antara. Jumlah totalnya mencapai Rp 1,7 triliun dan katanya disetujui oleh DPR di akhir 2008.

Lalu dengan ciri khasnya, yang seolah-olah bertanya, George mengakhiri bagian ini dengan pertanyaan “Kalau pengalihan sebagian uang rakyat untuk ‘dana siluman’ kampanye SBY-Boediono karena tidak dilaporkan ke KPU, bagaimana dengan uang rakyat yang dititipkan di BUMN yang lain, di mana juga menjadi penyumbang tim sukses SBY-Boediono?”

Yayasan dan Denny Indrayana
Soal yayasan-yayasan yang berada dalam genggaman Keluarga Cikeas yang juga disinggung oleh George di buku ini, juga sama saja, tidak ada yang baru. Itu berbeda dengan tulisan-tulisan George tentang yayasan-yayasan yang dikelola Soeharto, B.J. Habibie, dan Megawati yang membuat orang mendapatkan informasi baru. Saya tak paham, mengapa kali ini, George yang “ahli” yayasan itu hanya mengandalkan sobekan-sobekan berita dan tulisan orang, dan tidak menggalinya lebih jauh.

George membagi dua bab soal yayasan yang dikendalikan oleh Keluarga Cikeas itu: “Yayasan yang Berafiliasi dengan SBY,” dan “Yayasan yang Berafiliasi dengan Ani SBY.” Satu bab lain yang berada di tengah dua bab ini adalah “Kaitan dengan Bisnis Keluarga Cikeas.” Bab-bab itu dilengkapi dokumen foto, termasuk foto cucu SBY, Almira Tungga Dewi dalam pangkuan Anissa Pohan.

Karena tidak ada hal-hal dan informasi baru, menurut saya, buku ini terlalu disikapi luar biasa. Mengherankan karena itu, mereka yang merasa menjadi bagian atau dekat dengan kekuasaan kemudian meradang menyikapi terbitnya buku George yang menurut informasi, sebetulnya akan diterbitkan saat musim kampanye Pemilu lalu itu. Sebagian dari mereka bereaksi biasa-biasa saja, sebagian lagi malah berlagak sebagai orang paling terhormat dan paling pintar.

Lalu Minggu pagi tadi, Denny Idrayana S.H., LL.M., Ph.D., staf khusus presiden itu, menyempatkan menulis status di Facebook-nya soal buku. Kata dia, “Buku sampah. Informasi sampah. Gosip sampah. Kalaupun didapat, ya langsung masuk tempat sampah, tidak usah pula terlalu ditanggapi atas nama kebebasan berpendapat pula, ah ora pantes je! Keep fighting for the better Indonesia. Just Doa and Do the best!”

Saya tidak tahu, apakah pernyataan Denny itu, untuk menanggapi buku George atau tidak. Saya hanya tahu, setiap hari Denny pasti menghasilkan sampah meski dia tak pernah bekerja sebagai pemulung sampah. Atau kalau pun benar, buku George dianggap sampah, menurut saya, sesampah-sampahnya buku itu masih lebih baik dari orang yang menganggap buku sebagai sampah.[Rusdi Mathari]

Desember 19, 2009

sinisme infotainment vs luna maya

Isu Manohara Odelia Pinot mengalahkan "pamor" berita politik? Bahkan, yang tergolong agenda politik nasional? Nyatanya, iya. Dan tanpa dianalisis dengan pisau analisa yang tajam pun, jawabannya akan selalu iya. Hukum pasar yang merupakan cerminan selera masyarakat memang selalu berpihak kepada bidang hiburan dibandingkan bidang lain. Terlebih lagi layar kaca? Bukankah berbagai riset memperlihatkan jumlah penonton tertinggi adalah kaum hawa. Dan mohon maaf - ini tidak ada kaitannya dengan sinisme gender - bukankah kaum perempuan lebih berselera terhadap sajian-sajian yang ringan dan menghibur? Jadi kenapa juga harus heran? Dan, bagaimana dampaknya jika durasi program infotainment mulai mendekati kapasitasnya yang diberikan program berita?

Tanpa disurvei dan dihitung secara quick count, saya akan memastikan program infotainment akan makin bersinar. "Makin berbeling-beling," kata presenter program infotainment Insert di TransTV, Cut Tari. Ibarat sebuah pasar swalayan, kabar seputar selebriti ditempatkan di rak mana pun akan selalu dicari orang. Terlebih lagi bila "produk" itu disediakan rak yang lebih strategis. Maka, hiburan akan semakin berkibar dan memukul bidang-bidang masalah lain. Apalagi politik yang bikin kepala pusing dan rambut rontok. Pilpres? Hare gene ngomongin pilpres?!

Maka sangat wajar bila demam Manohara mampu mengungguli popularitas SBY atau capres-capres lain. Jangan heran bila drama Manohara bisa mengalahkan kesakralan pilpres. Selain diunggulkan secara bidang masalah, hal itu ditunjang jatah durasi yang makin membengkak. Setiap stasiun televisi paling tidak menyediakan slot selama 1,5 jam per hari untuk program infotainment. Sedangkan program berita memiliki durasi rata-rata 2,5 jam per hari. Bisa dibayangkan bila kasus Manohara menguasai durasi di setiap program infotainment di setiap stasiun televisi? Betapa ia mendapat jatah durasi teramat besar, plus cuma-cuma alias gratis. Sedangkan para peserta pilpres tampil hanya beberapa menit saja di setiap program berita.

Ketika tengah "berjuang" untuk memakmurkan keluarga pada 1996-an, saya juga sempat menjadi penulis lepas di sebuah rumah produksi yang membuat sebuah program infotainment. Saat itu, program gosip seputar selebriti masih dua dan hanya ditayangkan oleh sebuah stasiun televisi. Jadi masih belum seramai sekarang dan saat itu, sang "saudara tiri" memang masih bayi.

Saya tidak akan bercerita soal liku-liku keterlibatan dalam rumah produksi itu. Namun, saya hanya bertutur soal pelajaran berharga saat diminta mengemas setiap item dalam program itu. "Berita infotainment itu isinya gambar-gambar sampah. Jadi, kita bermain dengan narasi. Usahakan setiap sampah ini jadi berita," kata Redaktur Pelaksana di rumah produksi itu.

Maksudnya gambar-gambar sampah adalah gambar-gambar yang tidak terlalu penting, tidak mengikuti kaidah grammar of the shots, dan "astrada" alias asal terang gambar ada. Artinya, peristiwa dalam gambar itu pun bukanlah peristiwa hebat dan memenuhi syarat-syarat nilai berita. Dan agar sampah itu menjadi berita, maka gambar-gambar sampah itu harus ditempeli data terbaru dari orang yang terlihat di gambar. Prinsif kesesuaian antara narasi dan gambar memang tidak berlaku. Yang penting, penulis memiliki data untuk diceritakan. Entah data pribadi, cerita katanya-katanya, dugaan-dugaan, dan berbagai macam jurus "pelintiran". Pokoknya, cerita nomor satu dan gambar jadi pelengkap syarat sebagai produk televisi. Sorry, saya tidak menyebut kumpulan data itu sebagai fakta. Karena, fakta tidak pernah berurusan dengan isu, rumor, gosip, dugaan, dan segala pelintiran.

Untuk menutupi kelemahan kontinuitas atau kesinambungan sequence, maka video editor memaksimal segala macam efek pada alat penyuntingan gambar. Selain itu, cara membacakan narasi atau voice over yang "khas" - bermain-main dengan intonasi dan aksen pada kata-kata tertentu - dan ilustrasi musik juga menjadi jurus andalan. Ingat Fenny Rose saat mempresentasikan dan membacakan narasi program infotainment Silet. Belakangan, gaya centil dan sedikit nyinyir juga diperlihatkan para presenter program para selebriti itu.

So, sejak masa perkenalan saya dengan jagat infotainment pada 1996 hingga sekarang, ternyata sang "saudara tiri" telah berkembang dengan pesatnya. Program infotainment dan rumah produksinya bukan lagi dua. Tapi, sudah menjadi belasan. Bahkan, sejumlah stasiun televisi memiliki pasukan khusus untuk memproduksi program tersebut secara in-house. Atau, sedikitnya menjalin kerjasama dengan rumah produksi. Sehingga, posisinya sudah merupakan saudara tiri yang sangat disayang oleh sang "raksasa".

Meskipun demikian, secara content, mohon maaf tidak berubah. Dari segi getting gambar memang makin luar biasa. Para reporter dan kamerawan semakin ulet, nekat, dan nyaris seperti Rajawali. Tapi dari segi pengemasan data dengan narasi sebagai menu utama, sekadar menjejalkan data dan kecurigaan-kecurigaan yang cenderung fitnah ke atas gambar. Sehingga tidak jelas lagi, mana data dan mana prasangka? Maaf, ya... (syaiful HALIM, GADO-GADO Sang Jurnalis: Rundown WARTAWAN ECEK-ECEK, Gramata Publishing, 2009, slug 20)

Desember 17, 2009

bedah "gado-gado sang jurnalis" di usahid jakarta

Universitas Sahid Jakarta, Rabu (16/12), menjadi gong pembuka roadshow buku GADO-GADO sang jurnalis: rundown WARTAWAN ECEK-ECEK ke berbagai kampus di Jakarta dan kota-kota lainnya di Tanah Air. Dalam acara itu, sang penulis, syaiful HALIM, didaulat untuk memaparkan topik "Menelisik Prospek Jurnalis Televisi di Tanah Air" dihadapan sekitar 200 mahasiswa.

"Pada era 1996, masyarakat dikejutkan dengan kehadiran Seputar Indonesia di stasiun RCTI dan Liputan 6 Petang di SCTV sebagai program berita dengan kemasan yang berbeda dibandingkan program-program berita yang ditayangkan stasiun TVRI," jelas syaiful HALIM. "Dan berkat kerja keras para jurnalis televisinya, kita bisa menyaksikan berbagai suasana mencekam, seperti penyerbuan kantor PDI di Jalan Pangeran Diponegoro, tragedi penjarahan pada Mei 1998, peristiwa Semanggi, dengan apa adanya dan memuaskan keinginantahuan pemirsa."

Selanjutnya, sang Wartawan Ecek-Ecek makin bersemangat merinci peran jurnalisme televisi dan kiprah para jurnalis televisinya. Sesekali ia menghubungkan penjelasan menyangkut situasi pengelolaan stasiun televisi dan kejayaan para jurnalisnya itu dengan isi buku -- yang memang membahas masalah-masalah itu. Termasuk, isu-isu hangat seputar peliputan tragedi peledakan bom di kawasan Mega Kuningan dan perburuan gembong teroris Noordin M. Top.

"Di tengah keprihatinan krisis keuangan global, campur tangan pemilik modal terhadap kiprah lembaga pers di masing-masing stasiun televisi, dan juga kecemasan akan masa depan stasiun televisi nasional setelah Undang-Undang Penyiaran diberlakukan, jurnalis televisi akan tetap memiliki tempat," tandas syaiful HALIM. "Namun, para calon-calon jurnalis televisi harus memiliki bekal yang memadai, tidak asal-asalan, berharap kebaikan para senior, atau keberutungan. Tapi, kesiapan mental dan ilmu."

Sesi tanya jawab pada bedah buku itu menjadi kesempatan para peserta untuk menggali lebih dalam mengenai berbagai permasalahan jurnalisme televisi. Tanya-jawab pun berlangsung dengan semarak dan penuh antusias. "Pada poinnya, apa keunggulan buku ini dibandingkan buku-buku sejenis?" tanya seorang peserta.

Sang Penulis pun merinci satu per satu nilai lebih buku yang ditulisnya selama tiga bulan itu. Yang pasti, jelas syaiful HALIM, buku tersebut membuat inspirasi yang sangat penting bagi para peminat dunia jurnalistik atau calon-calon jurnalis televisi. "Selain itu, buku ini memaparkan pengetahuan berharga jurnalisme televisi secara teori dan praktik. Khususnya, menyangkut teknik peliputan di berbagai bidang masalah," tambahnya.

Bahkan, kata syaiful HALIM, buku itu pun mengungkapkan pembekalan sebagai produser program harian atau program khusus. "Bahkan, ketika sang jurnalis televisi bersiap-siap membidik kesibukan lain. Yang pasti, jurnalis televisi akan selalu mendapat tempat dan menghamparkan kenikmatan petualangan nan tiada tara," tegasnya disambut tepuk tangan para peserta.[]

Desember 12, 2009

bedah GADO-GADO SANG JURNALIS

Krisis keuangan global dan pembelakuan Undang-Undang Penyiaran menyengat industri televisi di Tanah Air. Bagaimana dengan masa depan lembaga pers di lingkungan stasiun televisi, akan menjadi suram atau sebaliknya?

Pertanyaan serius dan ironi itu muncul seiring dengan rumor tawaran pensiun dini (baca: PHK terselubung) dan gonjang-ganjing yang mewarnai perjalanan lembaga pers di stasiun televisi beberapa tahun ini. Beberapa jurnalis televisi (atau mantan) menuliskannya dalam blog atau menerbitkannya melalui jejaring sosial facebook. Artinya, diam-diam memang ancaman "madesu" memang tengah mengintai para jurnalis televisi.

Entah kesengajaan atau tidak, ternyata isu itu juga muncul dalam buku GADO-GADO sang jurnalis; rundown WARTAWAN ECEK-ECEK yang ditulis jurnalis SCTV, syaiful HALIM. Bahkan, lengkap dengan gambaran "politik ecek-ecek" yang terjadi di lembaga pers di sejumlah stasiun televisi, yang diduga untuk mengkebiri ketajaman dan kemapanan lembaga pers tersebut. Dan untuk mempertegas atmosfir keprihatinan dan kenyataan di dalamnya, sang Wartawan Ecek-Ecek akan berbicara langsung pada:

Rabu, 16 Desember 2006
Pukul 13.00-15.00 WIB
Bertempat di Auditorium Kampus Universitas Sahid Jakarta, Jalan Profesor Dr. Soepomo, Jakarta Selatan
Dengan topik "Menelisik Prospek Jurnalis Televisi di Tanah Air"

"Saya hanya bisa mengatakan, jutaan anak-anak bangsa dari berbagai kalangan masih menjadikan stasiun televisi sebagai salah satu impian. Ribuan mahasiswa dari fakultas-fakultas tertentu masih membidik dunia jurnalime televisi sebagai salah cita-cita," tegas sang Wartawan Ecek-Ecek, syaiful HALIM, dalam blognya.

Benarkan masa depan para jurnalis televisi akan suram pada masa-masa mendatang? Adakah buku GADO-GADO sang jurnalis: rundown WARTAWAN ECEK-ECEK membuktikan kekhawatiran itu?

Untuk mendapatkan jawaban paling akurat, ada baiknya menbaca buku itu terlebih dahulu dan mengikuti penuturan penulisannya pada workshop singkat ini.

JANGAN IKUTI ACARA INI, BILA ANDA INGIN DISEBUT ECEK-ECEK!

Desember 06, 2009

menyoal gado-gado sang jurnalis

Sesaat setelah buku Gado-Gado Sang Jurnalis: Rundown Wartawan Ecek-Ecek memasuki rak toko buku, seorang sahabat menyodorkan dua kritik serius kepada saya. Yakni, soal pemilihan tokoh "saya" dan momen peluncurannya yang dianggap berbanding terbalik dengan kondisi sekarang.

"Kenapa juga harus sampean sendiri yang menjadi kendaraan cerita. Apa tidak khawatir buku itu bakal disebut otobiografi? Bahkan, sampean bisa dicap pemuja aliran narsis?!"

Astaghfirullah. Buru-buru saya membuka lembar demi lembar buku itu dan membacanya secara seksama. Seteliti, mungkin. Kali ini, saya harus memastikan kebenaran kesan itu. Dan jurus memilih posisi sebagai pembaca harus saya pilih. Karena, saya membutuhkan jawaban obyektif.

Kalau hal itu terbukti benar, maka sesungguhnya saya tengah dihadapkan pada dua persoalan besar. Pertama, saya telah melanggar komitmen spiritual untuk istiqomah berzuhud secara batin. Kedua, saya telah melanggar komitmen berkesenian untuk tidak melakukan -- maaf -- masturbasi!

"Setiap amal tergantung niatnya. Katanya guru saya, hahaha...," sahut saya mencoba menanggapi kritik serius itu seraya berpura-pura mengabaikan konflik batin di pikiran.

Namun, di balik kutipan yang sejatinya hadits Rasulallah SAW itu saya ingin bertutur bahwa alasan-alasan "pelanggaran" komitmen secara spiritual atau berkesenian itu. Ketika harus memilih kendaraan "saya", seperti juga telah dipaparkan dalam kata pengantar, hal itu lebih disebabkan untuk mendapatkan kemudahan. Karena memilih tokoh lain pastinya akan dihadapkan berbagai persoalan administrasi, royalti, waktu, dan sejuta alasan lain.

Selain itu, mendapatkan tokoh dari kalangan "bawah" -- dunia jurnalistik televisi -- dengan banyak cerita juga bukan perkara gampang. Karena, bisanya kalangan "bawah" sangat sedikit mendapatkan kesempatan untuk menabung pengalaman dan cerita.

Daripada niatan membagi pengatahuan dan pengalaman terhambat masalah karakter, maka diputuskanlah "saya". Untuk mengimbangi dominasi "saya", saya juga menyediakan ruang untuk teman-teman lain -- dari kalangan "bawah" -- yang selama ini tidak tersentuh tinta sejarah. Dan menorehkannya dalam bentuk cerita atau foto. Dengan porsi kecil itu saya berharap, pembaca juga mengenal "wartawan ecek-ecek" lain yang selama bertahun-tahun ini meramaikan jagat pertelevisian kita.

"Apa mereka memang layak masuk catatan sejarah itu?"

"Iya. Selama ini publik lebih mengenal kalangan 'atas' atau selebritas -- presenter atau anchor program berita -- yang sering tampil di layar kaca. Padahal di balik kecemerlangan mereka juga terdapat para praktisi lain yang angat bekerja keras. Buat saya, masyarakat juga perlu menjadikan orang-orang itu inspirasi. Orang kalangan 'bawah' pun berhak menjadi inspirasi," jelas saya meyakinkan.

Tentang kritik kedua?

Saya sangat tahu, arah kritik itu ditujukan kepada situasi gonjang-ganjing yang belakangan ini dialami sejumlah stasiun televisi nasional. Entah menyangkut keterlibatan pemilik modal atau jajaran pengelola stasiun televisi secara langsung dalam menata lembaga pers di dalamnya. Atau soal masa depan pertelevisian itu yang tengah diuji krisis keuangan global atau pelaksanaan Undang-Undang Penyiaran. Singkatnya, efisiensi yang berujung pada pemangkasan karyawan. Dan, tentu saja, masa depan lapangan pekerjaan di bidang penyiaran.

Kali ini, saya hanya bisa mengatakan, jutaan anak-anak bangsa dari berbagai kalangan masih menjadikan stasiun televisi sebagai salah satu impian. Ribuan mahasiswa dari fakultas-fakultas tertentu masih membidik dunia jurnalime televisi sebagai salah cita-cita. Dan mereka membutuhkan referensi. Baik menyangkut teori keilmuannya maupun praktik nyata di lapangan. Bahkan, peta "politik" di dalamnya.

Bahwa momen peluncuran buku dan kondisi usaha stasiun televisi yang berbanding terbalik bukanlah penghalang untuk terus berbicara tentang dunia jurnalisme. Khususnya, jurnalisme televisi. Sebagai pengetahuan atau ilmu, jurnalisme tidak akan pernah mati dan masih akan terus berkembang sejalan dengan perubahan-perubahan zaman. Karena itu, buku-buku yang berkaitan dengan masalah itu pun masih sangat dibutuhkan tanpa terusik situasi lapangan kerja.

Dan untuk ke dalam, wawasan tentang jurnalisme televisi itu juga membutuhkan otokritik. Ketika dunia tersebut menempati papan atas dan dalam kesombongan yang teramat sangat, para pengelolanya lupa dan lengah bahwa tren selalu berputar dan minat penonton juga ikut bergeser. Pada akhirnya, kebijakan pemilik modal dan pengelola stasiun telivisi pun harus berakrobat untuk mempertahankan laju usahanya.

"Bagian itulah yang saya pikir sangat ironi," kata teman saya lirih.

Ironi?

Buat saya dan teman-teman dari kalangan "bawah" yang termasuk dalam cerita buku, baik yang masih bertahan maupun resign, hal itu bukan sekadar ironi. Tapi, sangat ironi. Bahkan, sangat-sangat ironi![gado-gado SANG JURNALIS]

November 25, 2009

tangerang book fair

Dapatkan buku "GADO-GADO sang jurnalis: rundown WARTAWAN ECEK-ECEK" di Tangerang Book Fair yang digelar di Kantor Walikota Tangerang, 30 November hingga 03 Desember 2009.


November 21, 2009

kpi "imbau" media agar boikot sidang

Hari ini pagi tadi saya sambil mengerjakan sesuatu mendengarkan siaran radio Elshinta. Karena keranjingan dengar berita kebetulan muncul dialog dan tanya jawab mengenai KPI. KPI a.k.a Komisi Penyiaran Indonesia adalah sebuah lembaga negara yang independen khusus membidangi masalah penyiaran media elektronik.

Pada dialog tersebut diketengahkan masalah KPI mulai Desember 2009 akan menghentikan siaran langsung sidang pengadilan dengan alasan yang cukup tidak masuk diakal, yaitu melindungi kepentingan anak-anak akibat dari keterangan sidang pengadilan yang bisa mengarah kepada asusila atau kekerasan.

Namun dari dialog yang terjadi, saat itu KPI diwakili Ario Bimo selaku anggota, banyak orang yang menyesalkan dan memprotes keinginan KPI dengan alasan keterbukaan. KPI pertama-tama beralasan bahwa hal ini supaya melindungi adanya praduga tak bersalah tetapi karena diserang lagi dengan adanya sidang terbuka untuk umum maka berubah lagi menjadi melindungi anak-anak. Masalah perlindungan kepada anak ini juga diprotes sebab semua pendengar menyatakan sangat tidak mungkin anak-anak akan mengikuti satu sidang pengadilan. Biasanya anak-anak hanya akan menonton sinetron (yang dikatakan sangat tidak bermutu), film kartun yang mengundang kekerasan dan infotainment yang sudah sangat merusak akhlak namun untuk sidang pengadilan sama sekali tidak. Justru para pendengar menginginkan ketiga masalah diatas agar ditangani KPI dan bukan masalah sidang pengadilan yang harus dibatasi.

Alasan para pendengar memang benar sebab sepertinya KPI ini sudah diminta pihak tertentu agar membatasi atau meniadakan acara-acara sidang pengadilan secara langsung. Keberatan pendengar adalah bahwa sidang pengadilan yang cisiarkan secara langsung adalah terbuka untuk umum dan berhak diketahui khalayak luas. Jadi masalah adanya melindungi praduga tak bersalah dan anak-anak sangat kabur dan sumir serta tidak memiliki dasar hukum sama sekali.

Jadi melalui artikel ini hendaknya KPI lebih memposisikan diri sebagai lembaga yang melindungi masyarakat dari tontonan amoral dan sangat merusak dibanding mengikuti kehendak segelintir orang yang ingin menyembunyikan informasi, keterbukaan dan kebenaran dari semua orang.[Smart]

kendali media dan kontrol berita?

Redaksi surat kabar harian Kompas dan koran Sindo (Seputar Indonesia) telah menerima surat pemanggilan dari Mabes Polri yang tertanggal 18-November -2009.

Surat pemanggilan itu memerintahkan kepada redaksi Kompas dan Koran Sindo agar menghadap penyidik di Direktur II Ekonomi Khusus, pada hari Jumat tanggal 20-Nopember-2009 pukul 10.00 WIB.

Redaksi harian Kompas dan koran Sindo dipanggil terkait dengan pemberitaan tentang rekaman dugaan rekayasa yang diputar di Mahkamah Konstitusi pada tanggal 3-November-2009, yang dimuat di kedua media massa itu pada tanggal 4-November-2009.

Pemanggilan itu untuk menindaklanjuti laporan Anggodo Widjojo, adik dari buronan Anggoro Widjojo, terkait laporannya kepada pihak kepolisian perihal pencemaran nama baik dirinya lewat transkrip rekaman dugaan rekayasa KPK.

Laporan dari Anggodo kepada polisi yang tertanggal 30-Oktober-2009 merupakan laporannya Anggodo yang tidak terima karena disadap KPK, sebagaimana yang diatur dalam pasal 421 KUHP jo 310 jo 311 KUHP tentang pencemaran nama baik dan fitnah.

Disamping itu, juga laporan dari Anggodo kepada polisi yang tertanggal 2-November-2009 merupakan laporannya Bonaran Situmeang, pengacaranya Anggodo, perihal tindak pidana penyalahgunaan wewenang dan penyadapan melalui media elektronik, sebagaimana yang diatur dalam pasal 421 KUHP jo Pasal 19 ayat 2 UU No 18 tahun 2003 tentang advokat jo pasal 47 UU RI No 11 tahun 2008 tentang ITE.

Hal ini tentu akan menimbulkan keprihatinan di sementara pihak kepada pihak Polri, dimana saat ini menguat desakan untuk menahan Anggodo Widjojo, akan tetapi polisi malah bertindak sebaliknya, justru malahan mendahulukan serta menindaklanjuti laporan Anggodo Widjijo perihal pencemaran nama baik dirinya melalui transkrip rekaman dugaan rekayasa kasus KPK.

Akank ah Kompas dan Sindo akan dijadikan model pembelajaran bagi pihak media massa arus utama agar membatasi diri dalam memberitakan kasus dugaan rekayasa kasus KPK ?.

Inikah saat jarum jam sejarah kembali berputar ke masa lalu dimana masa sekarang ini akan memulai kembali penerapan cara-cara lama dalam metodeKendali Media dan Kontrol Berita’?[Bocah nDeso]

18 pasal jurnalisme dan filsafat

Setelah kejadian Kompas dan Sindo yang akan menghadapi Polisi kemarin, meskipun akhirnya tidak jadi, saya mencoba buka-buka tulisan tentang jurnalisme. Dan saya menemukan tulisan ini, yakni tentang dunia jurnalisme dan filsafat. Silahkan baca, semoga bermanfaat.

18 Pasal Jurnalisme dan Filsafat

  1. Setiap tahun, puluhan jurnalis di seluruh dunia menghadapi ancaman kematian di ujung pena mereka. “Jurnalisme,” tulis Ian Hargreaves dengan masygul, “bukan urusan yang mudah.” [1] Sepanjang tahun 2004, 56 orang jurnalis dibunuh setelah melakukan pekerjaan mereka, dan selama satu dasawarsa (1994-2004), jumlahnya mencapai angka 337. Jurnalisme adalah kerja yang berisiko. Tapi, tanpa risiko, bagaimana kebenaran dapat dibicarakan?
  2. Jurnalisme yang baik selalu menunjukkan keterkaitan antara risiko dan kebenaran. Keterkaitan ini—yang lebih dari sekadar hubungan “struktural”, tetapi juga mengandung di dalamnya hubungan-hubungan ontologis yang lebih mendalam—juga tampak dalam filsafat. Sejarah filsafat adalah sejarah keterkaitan antara risiko dan kebenaran. Kita akan berangkat dari problem ini untuk melihat bagaimana filsafat dan jurnalisme saling terkait dan belajar satu sama lain.
  3. Jika filsafat mesti berangkat dari persoalan, maka persoalannya bukan “apakah jurnalisme dapat menjadi filosofis?” (dan karenanya melahirkan sejenis genre “jurnalisme filosofis”, sebagai suplemen bagi “jurnalisme sastrawi” yang lebih dulu ada), bukan juga “bagaimana menjadikan jurnalis sebagai filsuf?”, atau “bagaimana sebaiknya seorang jurnalis berfilsafat”, namun “bagaimana menjadikan filsafat sebagai inspirasi dalam kerja jurnalisme?”, dan dengan demikian, meletakkan filsafat tidak secara konkret dan instrumental-praktis dalam kerja jurnalisme, tapi menjadikannya suatu hal yang implisit, namun berpengaruh secara aktual dalam jurnalisme itu sendiri.
  4. Filsafat dan jurnalisme sesungguhnya selalu terlibat dalam hubungan yang ambigu dan terkadang antagonistik: filsafat tak pernah mengakui secara eksplisit signifikansi jurnalisme bagi dirinya. Di satu sisi, dalam salah satu fase sejarahnya, filsafat pernah menggunakan jurnalisme sebagai mediumnya. Di sisi lain, filsafat tidak menganggap serius jurnalisme, atau menilainya cukup adekuat untuk menjadi medium bagi pemikiran filosofis. Kita tahu bagaimana Voltaire di era Pencerahan, atau Diderot, menggunakan surat-surat semi-jurnalistik untuk menyampaikan kritik dan filsafat mereka. Kita juga tahu bagaimana Jean-Paul Sartre atau Albert Camus menjadi jurnalis handal di era Eksistensialisme Prancis—dan tetap dikenal sebagai filsuf. Demikian juga dengan Hannah Arendt, yang publikasi-publikasinya di New Yorker merefleksikan secara filosofis rezim fasisme Nazi; atau Walter Benjamin, yang esai-esai filosofisnya di koran-koran Jerman merefleksikan keruntuhan modernisme. Namun di sisi lain, kita juga mendengar kecurigaan para filsuf terhadap “yang-populer” (Nietzsche, Heidegger, Derrida, Foucault) dan keengganan para filsuf untuk menulis di suratkabar atau media umum lainnya.
  5. Ada keyakinan di antara para filsuf bahwa, pertama, jurnalisme bukan medium yang tepat untuk berfilsafat dan mengembangkan pemikiran yang panjang. Jurnalisme mewakili apa yang disebut Plato sebagai doxa, atau dunia opini yang selalu berubah-ubah. Sementara tugas seorang filsuf adalah membongkar idea di balik doxa, jurnalisme sebagai salah satu representasi doxa berkutat pada “penampakan”, pada apa yang “tampak” atau phainomenon. Kedua, sejarah filsafat telah menunjukkan bahwa sebagian filsuf memiliki kecemasan dan fobia tertentu terhadap “tulisan”, dalam pelbagai jenisnya. Derrida pernah menunjukkan dalam studinya, bagaimana filsafat dihantui oleh sejenis ketakutan pada “grammatologi”, atau kebenaran-yang-tertulis, dan bersandar pada keyakinan tentang kebenaran-murni di luar bahasa (logosentrisme). Kedua hal ini merupakan locus di mana filsafat dan jurnalisme berkontradiksi.
  6. Namun jurnalisme yang muncul secara ekstensif sejak abad ke-18 telah mengubah tatanan dunia dan cara manusia menghayati kehidupannya. Ia mengubah cara kita berkomunikasi, berinteraksi, dan berhubungan satu sama lain dan dengan demikian, mengubah secara revolusioner relasi-relasi antarmanusia ke arah hubungan yang lebih sederajat. Jurnalisme telah mengubah cara kita memandang kekuasaan dan kemapanan—sesuatu yang juga dilakukan oleh filsafat. Bukankah jurnalisme telah memicu lahirnya Revolusi Prancis, melalui tulisan-tulisan populer Voltaire zaman itu? Juga, bukankah atas jasa jurnalisme, muncul gagasan negara-bangsa yang pada gilirannya membangkitkan imajinasi kebangsaan, nasionalisme, dan kemerdekaan di berbagai negeri? [2] Radikalitas jurnalisme terletak bukan saja pada kandungannya, tetapi pada medium dan cara dia bekerja mengubah secara epistemik ketimpangan pengetahuan di antara pembacanya. Jurnalisme menciptakan kondisi di mana semua orang berhak mengetahui dan bertanya tentang keadaan. Kesetaraan semua orang untuk mendapatkan pengetahuan dan pertanyaan merupakan universalitas jurnalisme yang mempertemukannya dengan cita-cita universalitas filsafat untuk menggapai kebenaran.
  7. Kini, jurnalisme tak dapat dipetakan secara hitam-putih: ia telah berkembang menjadi dunia tersendiri, dengan hukum-hukum, mekanisme, prosedur, dan cara kerjanya sendiri yang semakin otonom. Jurnalisme telah menjadi teritori dengan wilayah epistemologis-nya sendiri, dan karenanya memunculkan disiplin pengetahuan-nya sendiri. Jurnalisme telah menjadi fenomena dan bahan bagi sosiologi, politik, ekonomi, sejarah, etika, sastra, dan bahkan telah mengadopsi berbagai perkembangan teoretis kontemporer terbaru seperti semiotika. Lalu, di mana letak kontribusi filsafat bagi jurnalisme?
  8. Filsafat tidak dapat memberikan kontribusi pada aspek praktis dan teknis dari jurnalisme (kecuali filsafat menjadi sejenis “etika terapan” atau “etika jurnalisme”), tetapi ia dapat memberikan sumbangan penting, tidak sebagai suatu disiplin yang terpisah, tetapi sebagai suatu perspektif dan interogasi bagi kinerja jurnalisme. Filsafat memetakan, membongkar, membedah, dan mendekonstruksi praktek jurnalisme dan memberikan kemungkinan-kemungkinan baru yang radikal (secara etis, politis, epistemologis) bagi jurnalisme. Filsafat juga memungkinkan jurnalisme untuk melakukan refleksi-diri (auto-reflection) sekaligus otokritik (auto-criticism). Hal ini akan menghindarkan jurnalisme dari sekadar menjadi “mesin informasi” yang bekerja dengan regularitas dan rutinitas sehingga mudah terdeterminasi dan takluk pada kekuatan-kekuatan tertentu.
  9. Apa sebenarnya hakikat kerja jurnalisme?
  10. Jurnalisme, pertama-tama, terkait erat dengan apa yang diistilahkan oleh Edmund Husserl sebagai “pengalaman” yang objektif (Erfahrung): kita tahu, bahwa kerja jurnalisme dikonstitusi oleh kerja reporting,[3] yaitu melaporkan suatu hal (peristiwa, kejadian, atau figur) ke dalam suatu bentuk representasi pemberitaan tertentu. Dengan demikian, terdapat pengalaman yang ingin dihadirkan dan direpresentasikan—pengalaman itu bersifat objektif di luar sang jurnalis, namun sang jurnalis tidak diam begitu saja di depan pengalaman itu melainkan terlibat dengannya. Pelibatan ini mengubah “pengalaman” dari sekadar objektif (Erfahrung) menjadi “pengalaman” yang hidup (Erlebnise).
  11. Tapi, benarkah seorang jurnalis dapat benar-benar terlibat dengan apa yang ingin direpresentasikannya?
  12. Jurnalis bukan pengamat yang terpisah dari objeknya. Ia bukan seorang observer atas fenomena. Ia terlibat, dalam pengertian bahwa ia berpikir, merasakan, menghayati, dan merefleksikan peristiwa atau sosok yang ia akan hadirkan dan representasikan ke dalam suatu bentuk reporting tertentu.
  13. Di sini, saya membayangkan bahwa jurnalisme merupakan sebuah “revelasi” atas fenomena (phainomenon): jurnalisme adalah seni atau teknik penulisan untuk “menyingkap” (to reveal) suatu gejala atau fenomena agar menampakkan kebenarannya. Jurnalisme adalah upaya representasi atas kebenaran yang sebelumnya tak terungkapkan, agar kebenaran itu dapat diketahui dan menjadi suatu diskursus. Menyingkap sebuah fenomena adalah sebuah kerja radikal sebagaimana halnya kerja filsafat itu sendiri. Penyingkapan ini adalah perjuangan terus-menerus untuk membuka “kebenaran” sampai ke akar-akarnya, sampai ke hal-hal yang tak terduga di baliknya, atau yang dengan sengaja atau tak sengaja disembunyikan—sesuatu yang juga menjadi kegelisahan dari setiap refleksi filosofis.
  14. Ada hal yang menarik di sini: bahwa rupanya, seperti dikatakan Heidegger, ada keterkaitan erat antara kebenaran dan kebebasan.[4] Seseorang tidak dapat mengungkapkan kebenaran kecuali ia memiliki kebebasan untuk mencari dan menemukan kebenaran tersebut. Kebebasan merupakan conditio sine qua non bagi kebenaran agar dapat terungkap; tanpa kebebasan, seorang subjek (jurnalis, dalam hal ini) tidak dapat berbicara tentang kebenaran kecuali sebagai angan-angan; dengan kata lain, untuk mengaktualkan kebenaran, kebebasan harus terlebih dulu diaktualkan.
  15. Sekarang, kita mencoba berpikir negatif: dalam segala kondisi yang mungkin dibayangkan, apakah yang menjadi musuh kebebasan dan kebenaran? Musuh kebebasan dan kebenaran, bila merujuk pada refleksi Heidegger, bukan rezim yang otoriter, otoritas pengetahuan atau politis, atau institusi formal-yuridis tertentu, tetapi “penutupan” (concealment, Verbergung), “ketersembunyian” (hiddenness, Verborgenheit), “kelupaan” (forgetting, Vergessenheit), yang kemudian pada gilirannya melahirkan “ketidakbenaran” atau “kepalsuan” (untruth, falsity, pseudos). “Penutupan” berarti ketertutupan kebenaran secara sadar karena pengungkapan atas kebenaran itu dapat menimbulkan sesuatu yang tidak diinginkan. Sementara “penutupan” merujuk pada aktivitas sadar, “ketersembunyian” merujuk pada ketertutupan kebenaran secara tak sadar karena kemalasan atau ketidakmauan kita untuk berpikir tentangnya, dan dapat berarti juga suatu ketersembunyian kebenaran karena “kelupaan” terhadapnya, atau kelupaan yang disengaja dan tersistematisir, suatu “politik pelupaan”. Semua rentetan ini bagi Heidegger merupakan musuh kebebasan dan kebenaran.
  16. Kebebasan dapat menjadi hilang dan absen di tengah masyarakat dan individu yang menutup-nutupi, tidak mengakui, menyembunyikan, merepresi, dan menekan hak-haknya atau akses terhadap hak-hak itu. Karena itu, “penutupan” dan “ketersembunyian” berlawanan dengan “idea” kebebasan. Sementara, kebebasan juga hilang jika masyarakat atau individu melupakan hak-haknya, melupakan apa yang mestinya diingat dan terus diingat, dan—yang paling parah—melupakan bahwa mereka berhak bebas. Karena itu, “kelupaan” adalah negatif bagi kebebasan; dan dengan absennya kebebasan, maka absen pula kebenaran.
  17. Di sini kerja jurnalisme sejalan dengan upaya setiap refleksi filosofis yang mendalam untuk mengungkap kebenaran dengan mengafirmasi kebebasan. Di dalam jurnalisme, ada idea of truth dan idea of freedom—dan kedua idea tersebut berkorelasi dengan idea of writing: penulisan sebagai tindakan revelatif untuk menyingkap kebenaran dan mengafirmasi kebebasan dalam pengertian yang paling luas. Tindakan “revelatif” itu tentu saja tidak mungkin lahir jika sang jurnalis tidak terlibat sedalam-dalamnya dengan pengalaman yang ingin diangkatnya.
  18. Apa yang dapat “diajarkan” oleh filsafat untuk jurnalisme? Pertama-tama bahwa jurnalisme bukan sekadar teknik dalam pengertian yang instrumental-teknis-pragmatis. Jurnalisme tak berurusan dengan sekadar teknik menulis yang baik, menarik, memikat, atraktif, menghibur, suatu art of entertainment sebagaimana klise terjadi saat ini (di mana informasi telah bercampur-baur dengan konsumsi dalam satu paket cepat saji “info-tainment”). Kecuali hanya akan menciptakan “kepalsuan” baru, karena memproduksi “kelupaan-kelupaan” baru, mereduksi jurnalisme pada sebentuk teknik menulis saja, juga akan memperlemah cita-cita radikal dari setiap jurnalisme yang bermutu. Sebaliknya, meski penting memperdalam aspek teknis dari jurnalisme, penting juga menggarisbawahi bahwa jurnalisme adalah suatu kerja “kemanusiaan” yang berfungsi mempertanyakan, menginterogasi, dan menyingkap realitas melalui perspektif-perspektif baru yang mungkin atau belum mungkin dibayangkan. Maka, saya membayangkan, jika Heidegger menyebut bahwa berfilsafat dan berpikir filosofis adalah thoughtful questioning,[5] mempertanyakan sesuatu dengan penuh pemikiran, dengan cermat dan hati-hati, mendalam, tak gegabah, namun interogatif dan radikal-menukik ke dalam, saya ingin menyebut jurnalisme yang bermutu sebagai thoughtful reporting, suatu kerja jurnalisme yang melaporkan, menyingkap, membuka, menyibak, dan menyidik hal-hal yang mungkin ditutup-(tutup)i, disembunyikan, dilupakan, direpresi, dan dideterminasi secara sengaja maupun tidak sengaja. Jurnalisme semacam ini akan membuka akses kepada pertanyaan publik dan ingatan publik terhadap segala bentuk “ketidakbenaran” atau “kepalsuan” tadi. Ini berarti bahwa jurnalisme terkait juga dengan idea of publicity, suatu gagasan untuk membuat kebenaran menjadi terekspos di hadapan res publica. Apakah saya tidak sedang bermimpi?[Agus PW]

izin siaran tiga stasiun tv terancam dicabut

Izin siaran tiga stasiun televisi swasta nasional di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, terancam dicabut bila hingga akhir tahun ini tidak melakukan penyesuaian perizinan ke daerah.

"Ketiganya belum menghubungi kami untuk proses penyesuaian izin, padahal batas akhirnya 28 Desember 2009. Bila tidak ada itikad baik, siarannya akan dihentikan dan izinnya dicabut," kata Kepala Bidang Struktur Sistem Penyiaran KPID Provinsi Kalteng John Retei Alfrisandi di Palangkaraya, Sabtu.

Penghentian siaran dan pencabutan izin tersebut, kata John, merupakan amanat undang-undang sehingga semua stasiun televisi akan diperlakukan sama untuk menaati aturan itu meski sebelumnya telah diberi kelonggaran.

Tiga stasiun televisi swasta nasional yang siarannya terancam dihentikan mulai tahun depan itu yakni RCTI, SCTV, dan Metro TV, yang merupakan tiga stasiun televisi swasta pertama yang mengudara di Kalteng.

John mendesak ketiga stasiun televisi itu segera melakukan penyesuaian izin dan membentuk badan usaha lokal di daerah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 32 Tahun 2007 tentang Penyesuaian Penerapan Sistem Stasiun Jaringan.

"Selain mencabut izin yang dibayar tahunan, tidak menutup kemungkinan juga izin penyelenggaraan penyiaran (IPP) tiga stasiun televisi itu akan dicabut," tegas John.

KPID menilai sebagai televisi pertama yang siaran di Kalimantan Tengah ketiganya mendapat prioritas untuk menduduki kanal yang sudah ada dan seharusnya dapat berperan lebih aktif.

Dari 13 kanal televisi di Palangkaraya, hampir semuanya saat ini sudah diduduki stasiun televisi swasta dan daftar antre juga menumpuk untuk mendapatkan kanal yang masih ada.

"Kalau ketiga stasiun itu tidak memproses izin hingga batas akhir nanti, lebih baik kanal yang diduduki kami berikan kepada pengusaha lain," jelasnya.

Langkah berbeda diambil lima stasiun televisi swasta nasional dan tiga televisi lokal yang baru mengudara di Kalimantan Tengah yang telah bersedia mengurus penyesuaian izin daerah.

Stasiun televisi swasta nasional yang tengah mengajukan perizinan itu adalah Global TV, Trans TV, Trans 7, dan TV One, serta tiga televisi lokal yakni Fiesta TV, Kalteng TV dan PT Kalaweit.

"Kami harap semua perizinannya bisa diselesaikan tahun ini juga," kata John.[ANTARA]

November 13, 2009

prolog gado-gado sang jurnalis

Buku ini laksana rundown sebuah program berita menjadi segmen per segmen. Segmen pertama menguraikan sepenggal perjalanan hidup yang berkaitan dengan profesi jurnalis televisi. Dari sekedar gila menonton televisi hingga menjadi mahasiswa. Selain mencoba membangun inspirasi dan kebanggaan akan profesi kewartawanan, segmen itu pun menguraikan sejumlah pengetahuan Dasar-Dasar Jurnalistik, Filosofi dan Sejarah Profesi Kewartawanan, Manajemen Media Massa, dan Penulisan Berita.

Segmen dua dan tiga makin fokus pada persiapan menekuni profesi jurnalis televisi dan aspek-aspek di dalam lingkungan televisi. Dari menguraikan pengetahuan tentang persiapan peliputan untuk jurnalistik televisi hingga mengenal profesi-profesi khusus di lingkungan Divisi Pemberitaan. Dalam segmen tiga, buku ini akan mengajak Anda memasuki kavling-kavling penggarapan berita televisi menurut bidang masalahnya. Jika dibuat komposisi, sekitar 70% uraian mengungkap praktik serta sisanya berisikan teori dan hal-hal remen-temeh lainnya.

Segmen terakhir, buku ini akan memaparkan sisi jurnalis televisi yang back to the jungle alias balik kanan ke kantor. Segmen ini mengupas teori ideal dan praktik pekerjaan sebagai produser, plus perkembangan tren jurnalistik televisi terbaru. Selain “booming” program infotainment yang mengalahkan pamor program berita, perkembangan manajemen media massa termutakhir, hingga masa depan yang harus dibangun sang jurnalis televisi saat bintangnya meredup.

Jadi, terasa kan cita rasa “gado-gado”nya?

Bisa jadi gaya penulisan buku ini dianggap ecek-ecek, karena ditulis oleh seorang yang menganggap dirinya sebagai jurnalis televisi yang ecek-ecek, meski sejatinya buku ini menyuguhkan "sesuatu" yang sulit dipandang ecek-ecek. Karena dari serangkaian cerita gado-gado yang dibuat penulisnya, Anda akan dibawa untuk menentukan bagian-bagian yang penting dalam jurnalistik dari sekian lama petualangan penulisnya sebagai jurnalis.

Atau justru Anda menjadi salah satu yang berani menyatakan bahwa buku ini ecek-ecek? BACA DULU![GGsj: rWEE]

November 03, 2009

"dagelan" hukum di mahkamah konstitusi

Rakyat Indonesia dibuat terpana dengan "dagelan" yang ditayangkan langsung oleh sejumlah televisi swasta dari Gedung Mahkamah Konstitusi, Selasa (3/11). Ratusan orang melihat langsung sidang terbuka yang memperdengarkan rekaman percakapan telepon seluler Anggodo Widjojo dengan sejumlah pejabat kepolisian dan kejaksaan.

Rekaman itu dengan vulgar menyebut bagaimana merancang kasus hingga tawar-menawar imbalan kepada pihak-pihak yang diduga ikut merekayasa. Sejumlah tokoh masyarakat hingga aktivis 1998 berdatangan ke Gedung Mahkamah Konstitusi (MK).

"Saya ngeri sekaligus kaget, betapa proses peradilan di negara ini bisa didikte Anggodo. Ini menunjukkan mafia peradilan kuat menguasai lembaga penegak hukum kita," kata Teten Masduki, Sekretaris Jenderal Transparansi Internasional Indonesia, di Gedung MK.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar juga terlihat kaget dengan fakta yang dipaparkan secara vulgar dalam rekaman. Beberapa kali ia keluar-masuk ruang sidang MK. "Saya kira rekaman ini bagus dibuka untuk umum. Jangan sampai ada sesuatu yang ditutup-tutupi," kata Patrialis.

Adnan Buyung Nasution dan para anggota lain Tim Independen Klarifikasi Fakta dan Proses Hukum Kasus Bibit-Chandra beberapa kali terlihat tak kuasa menahan senyum. Apalagi ketika terjadi perdebatan tentang jumlah honor yang harus dibayar kepada para pihak yang ikut merancang.

Di luar gedung sidang, sejumlah pengunjung sidang pun berkali-kali dibuat terpana dan tertawa dengan dialog vulgar dan terkadang lucu antara Anggodo dan berbagai pihak. "Saya takutnya kita disadap nih, Pak," kata seseorang yang diduga Ketut Sudiarsa, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, kepada Anggodo, contoh isi rekaman yang membikin geli.

Di kawasan Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, Suryo (42), karyawan swasta, mengaku tak sempat menyimak televisi yang menayangkan sidang di MK. Namun, ia mengetahui sebagian isi rekaman yang diperdengarkan dari penuturan sejumlah rekan. Dengan kesal, ia berkomentar, "Terhina banget rasanya jadi rakyat. Pejabat-pejabat publik kita begitu gampang dibeli!"

Di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, sidang perkara pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen sedang digelar. Namun, pegawai Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang sedang tidak bertugas terlihat menyaksikan siaran langsung sidang di MK dari salah satu stasiun televisi.

Di Kejaksaan Agung, suasananya juga seru. Pegawai di Pusat Penerangan Hukum Kejagung, misalnya, menyimak pemutaran rekaman di MK. Begitu juga jaksa-jaksa di Gedung Bundar Kejagung, menyaksikan siaran televisi.

Berharap Presiden

Antusiasme sekaligus kegeraman masyarakat menyimak rekaman yang diputar di MK juga tecermin dari puluhan wartawan yang mengerumuni televisi di ruang pers Istana Kepresidenan, Jakarta.

Meskipun agenda kegiatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang akan diliput sudah selesai sekitar pukul 14.00, para wartawan masih berkumpul di ruang pers Istana Kepresidenan hingga usai penayangan sidang MK di televisi. Sebagian dari mereka juga berharap Presiden akan memberikan komentar atau mengambil kebijakan yang signifikan seusai menyimak pemutaran rekaman.

Wakil Presiden Boediono nyaris tidak menonton sidang di MK. Kebetulan, agenda Boediono memang padat. Mulai pukul 11.30, ia menerima pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan yang dipimpin Hadi Purnomo. "Setelah itu langsung memimpin rapat bersama tiga menteri koordinator untuk menindaklajuti program kerja 100 hari dan lima tahun," ujar Staf Khusus Wapres Bidang Media Massa Yopie Hidayat.

Namun, sebelum rapat bersama tiga menko dimulai, Menko Politik Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto sempat berkomentar, "Wah, kita harus rapat, ya. Seharusnya kita bisa menonton dulu tayangan rekaman pembicaraan di televisi."

Mendengar komentar tersebut, Menko Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono dan Menko Perekonomian Hatta Rajasa terlihat hanya senyum-senyum saja. (DAY/HAR/IDR/AIK) --http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/11/04/03385571/dagelan.hukum.di..mahkamah.konstitusi

gonjang-ganjing di tv swasta kita

Sungguh situasi yang saya bayangkan tidak nyaman. Kebersamaan sebagai ciri khas kerja jurnalistik pastinya sudah tak ada lagi di sana. Tangan kekuasaan kemudian mengubah semuanya, mulai dari kebiasaan kerja, perombakan tim, hingga format siaran. Pemred kemudian dipegang langsung sang pemilik modal.

Bagi pemirsa, seperti yang saya rasakan, layar Liputan 6 kemudian tak lagi secantik dan sedinamis dulu. Tak ada gaya siaran Bayu Sutiono yang penuh greget, tak ada lagi gaya tegas Rosi saat talk show. Bahkan momen Pemilu dan Pilpres yang biasanya menjadi kekuatan SCTV, berlalu begitu saja, tanpa sesuatu yang spesial.

Bagi pemirsa dan dunia jurnalistik TV, ini kemunduran. Suka tak suka Liputan 6 SCTV adalah sebuah ikon berita TV di Indonesia. Saya tahu persis mereka membangun kejayaan dari bawah, dari kondisi yang amat sangat pahit dengan sokongan dana yang minim di awal pendirian Liputan 6.

Perlahan dengan kerja kerasnya, Liputan 6 kemudian menancapkan tajinya. Bahkan menjadi acuan serta rujukan banyak kalangan, termasuk para pengambil keputusan di negeri ini.

Kebesaran Liputan 6 dibangun dengan mengedepankan kapabilitas dan kredibilitas, sesuai dengan motonya Aktual, Tajam, Terpercaya.

Saya sendiri tak tahu pasti ada apa di internal SCTV sehingga harus mem-phk karyawan sebanyak itu. Apakah ini karena imbas krisis keuangan Amerika? Saya kok tak terlalu percaya. Karena setahu saya, kondisi keuangan stasiun TV ini lumayan sehat dibandingkan beberapa stasiun TV yang lain. Ataukah ini cara perusahaan mengurangi SDM tetap dengan memperbanyak karyawan kontrak? Entahlah?

Situasi berbeda tampaknya juga dialami 2 stasiun TV lainnya. TPI sedang menunggu putusan kasasi kasus Pailit yang diajukan Crown Capital. Sementara kabar gonjang-ganjing lainnya datang dari stasiun tv milik Bakrie, Antv. Kabarnya mereka menghadapi situasi serupa dengan Sctv pasca hengkangnya raksasa media Rupert Murdoch selepas lebaran lalu.[Syaifuddin's Blog]

Artikel Terkait:
last man standing in liputan 6 sctv

Oktober 31, 2009

andy f noya, sang pemimpin redaksi metro tv


Pernah menonton acara K!ck Andy? Sebuah tayangan talk show yang menyuguhkan begitu banyak informasi kepada para pemirsanya. Sebuah acara yang digagas oleh Adjie S. Soeratmadjie dan dibawakan langsung oleh sang pemimimpin redaksi ; Andy F Noya.

Bagi saya yang notabenenya adalah penggila talk show, acara K!ck Andy adalah salah satu acara favorit, mendidik yang pasti. Pada awalnya , saya sangat penasaran, siapakah pembawa acara ini? Rasanya belum pernah saya dengar nama Andy F Noya mungkin saya yang katrok kali ya? Memanfaatkan mbah google, sangat gampang mencari sejarah seorang yang udah terkenal. selain ada di bagian profile websitenya, saya juga menemukannya disini, ini adalah kutipan wawancaranya :

Secara umum orang mengenal Anda hanya sebagai Pemimpin Redaksi Metro TV. Dapatkah diceritakan bagaimana masa kecil Anda?
Saya terlahir dari keluarga yang ekonominya pas-pasan. Bapak saya seorang servis mesin ketik, ibu tukang jahit. Saya masih ingat, ketika mau membantu bapak menyervis mesin ketik, dia berkata, jangan kamu sentuh mesin ini. Saya sadar ternyata dia tidak mau anaknya menjadi tukang servis mesin ketik. Waktu Sekolah Dasar, saya sempat sekolah di Malang, kemudian ikut bapak ke Papua. Saya tinggal di Papua sampai kelas dua Sekolah Teknik Menengah (STM), terus pindah ke Jakarta, sekolah di STM 6 Keramat.

Kok bisa pindah ke Papua?
Bapak bekerja di sana. Perlahan-lahan bapak mulai banyak mendapat pesanan memperbaiki mesin ketik kantor. Setelah ekonomi sedikit mapan dan membaik, ibu, kakak dan saya menyusul ke Papua. Enam tahun saya tinggal di Papua.
Anda anak bungsu dari lima bersaudara, apakah Anda anak manja?
Sebaliknya, saya anak yang paling keras dan pembangkang. Waktu kecil saya sering tidak pulang ke rumah, ikut mencuri mangga dan burung dara, terus dijual. Kalau tak dikasih uang, kaca-kaca rumah pecah. Kakak-kakak saya mengira, kalau sudah besar nanti saya akan menjadi penjahat.

Sebenarnya apa sih harapan orang tua terhadap diri Anda?
Bapak menginginkan saya menjadi orang teknik, karena dia berasal dari teknik. Dengan harapan saya bisa lebih sukses dari dirinya. Begitu juga harapan saya terhadap anak-anak saya, saya menginginkan anak saya ada yang menjadi wartawan. Tapi tidak ada yang mau, malah pada sekolah desain grafis.

Dari sisi pria, apakah Anda termasuk pria romantis?
Romantis tidak, genit iya. Untung saya menikah dengan perempuan yang bisa memahami saya. Saya tidak bisa melihat perempuan cantik. Istri sering mengatakan bahwa saya adalah suami dan bapak yang baik, tapi sulit dikontrol. Artinya tak tahan melihat perempuan cantik.

Dari sisi perasaan, saya pria yang suka berbicara dengan hati, ketimbang dengan pikiran. Saya mudah tersentuh, apalagi melihat orang susah. Ini mungkin karena pengalaman hidup saya yang berasal dari orang susah. Saya pernah melihat orang tua menjual pisang. Karena kasihan, pisangnya saya bell semuanya. Istri saya protes, saya katakan kamu tidak pernah miskin, maka kamu tidak tahu bagaimana pahitnya menjadi orang miskin.
Anda mengaku sebagai pria genit. Sebagai pria genit Anda tentu punya pandangan tentang wanita. Seperti apa wanita seksi menurut Anda?
Wanita seksi adalah wanita yang cerdas. Saya tidak suka wanita cantik tapi tolol, selera langsung hilang. Wanita kurang cantik tapi pintar, itu baru menggoda.

Sebagai pemimpin media, Anda pasti sibuk. Apa yang Anda lakukan di waktu senggang?
Menonton dan membaca buku. Untuk musik, saya suka musik jazz. Setiap ada pagelaran jazz saya usahakan datang. Sabtu dan Minggu saya gunakan untuk `pacaran’ bersama istri dan jalan bersama anak-istri.

Buku jenis apa yang Anda sukai?
Apa saja, saya suka membaca buku manajemen, politik, sejarah dan sastra. Pada dasarnya saya suka membaca.

Anda dikenal wartawan ahli lobi. Dalam berinteraksi dengan narasumber, apakah Anda sering mengikuti gaya hidup mereka?
Tidak juga. Saya diakui sebagai orang yang kuat dalam melobi. Saya dekat sama semua narasumber, tapi tidak terlalu dekat, sampai main golf atau karaoke bersama. Apa yang tidak saya suka, saya katakan tidak suka. Saya ingin menjadi diri sendiri, saya tidak ingin menjadi orang lain.

Sehari-hari, Anda suka berpenampilan seperti apa?
Sebenarnya saya agak selebor. Ini rapi karena sedang bekerja saja. Hari Minggu saya suka memakai celana pendek dan sepatu sandal. Waktu kuliah, penampilan saya sangat selebor, kaos, jeans sobek, sepatu butut dan rambut kribo. Kribonya tidak seperti sekarang, lebih tebal.

Ritme hidup Anda cukup menarik. Bisa ceritakan kenapa Anda tertarik pada mengga dunia jurnalistik?
Semenjak SD saya sudah suka mengarang dan melukis. Sampai-sampai hasil lukisan saya dipajang di ruangan guru. Di Sekolah Teknik Negeri (setara Sekolah Menengah Pertama-Red), saya sempat beberapa kali juarai lomba karikatur. Saat duduk di STM, saya juara tiga lomba mengarang tingkat SMA se-Papua. Saya juga lulusan terbaik dan mendapat beasiswa untuk sekolah guru di Padang. Tapi setelah saya berpikir-pikir, jadi guru bukan cita-cita saya, maka jatah beasiswa saya kasih ke kelulusan terbaik nomor dua.

Suatu hari saya membaca artikel di sebuah majalah remaja tentang sekolah wartawan yaitu STP. Saya tertarik, kemudian saya melamar ke STP.

Orang tua Anda tahu bakat yang Anda miliki?
Tahu, tapi kan orang tua saya orang miskin. Dia memasukkan saya ke sekolah teknik, dengan harapan setelah lulus bisa langsung bekerja. Saya sadar kemampuan ekonomi orang tua saya terbatas.

Setelah lulus STM Anda hijrah ke Jakarta dan kuliah di STP. Di Jakarta dengan siapa Anda tinggal?
Sama kakak. Setiap pagi sebelum pergi kuliah, kerja saya memandikan keponakan dan mengantarkannya sekolah. Usai mengantar sekolah, saya mencuci piring dan membersihkan rumah. Namanya saja numpang, walaupun tak disuruh saya harus tahu diri. Malu sama kakak ipar. Siangnya saya menjemput keponakan dari sekolah. Setelah itu baru berangkat kuliah.

Berhubung saya tidak sanggup beli buku, saya nongkrong di perpustakaan, mencatat semua bahan-bahan kuliah. Saya jarang memfoto kopi buku, sampai-sampai penjaga perpustakaan bilang, difoto kopi saja mas. Saya jawab tidak usah, cuma sedikit kok. Dari sini saya mulai menghemat uang. Makan siang saja cumau makan gado-gado Rp. 500. Kalau naik angkot saya berharap bertemu teman, dengan harapan dibayarin. Dan saya paling senang kalau diajak ulang tahun, lumayan makan gratis.

Lulus dari STP Anda langsung bekerja menjadi wartawan?
Waktu tingkat tiga, tahun 1984, secara tidak sengaja saya melihat pengumuman lowongan kerja menjadi reporter buku Apa & Siapa terbitan Grafiti Press, anak perusahaan majalah Tempo. Saya iseng ikut mengantarkan teman melamar. Setelah itu saya malah jadi ikut melamar dan tes. Ternyata lulus, saya langsung disuruh bekerja. Saya dipanggil kerja tanggal 6 November bertepatan dengan hari ulang tahun saya. Di sini saya berkenalan dengan Rahman Tolleng, mantan Pemimpin Redaksi Suara Karya.

Setelah menjadi wartawan siapa tokoh yang pertama kali Anda wawancarai?
Sofyan Wanandi. Sofyan Wanandi inilah yang membuka akses ke pengusaha-pengusaha lain, di antaranya Liem Sie Liong. Waktu itu sangat sulit menemui pengusaha. Setiap bulan saya harus mewawancarai 12 tokoh.

Berapa honor yang Anda peroleh?
Satu tulisan profil Rp. 10.000. Waktu itu saya yang paling rajin. Tiap liputan saya naik angkot, pakai kaos oblong, celana jeans robek, dan sepatu butut. Dengan harapan kondektur tidak meminta ongkos. Biasanya melihat gaya seperti ini kondektur malas nagih ongkos, kalau diminta saya naik mobil satunya lagi.

Dilihat dari karier, Anda dibesarkan dari media cetak, bagaimana ceritanya bisa beralih ke elektronik?
Suatu hari saya berjalan bersama bapak Surya Paloh, dan. agar pembicaraan lebih leluasa, bapak Surya Paloh meminta saya untuk menyetirkan mobilnya, sementara mobil saya dibawa oleh supir bapak Surya Paloh. Saya katakan pada bapak Surya Paloh, saya sudah bosan bekerja di media cetak, saya mau pindah ke televisi. Pasalnya, waktu itu ada yang menawarkan saya untuk bekerja di televisi. Tapi orang yang menawarkan itu tidak berani ngomong langsung sama bapak Surya, takut karena dia sahabat bapak Surya Paloh. Dia menyarankan saya untuk berhenti dulu, setelah itu baru bergabung.

Terus bapak Surya bertanya, kamu mau pindah ke mana? Saya jawab, saya mau ke RCTI. Lalu bapak Surya bilang, kamu tidak usah pindah ke RCTI, saya akan membuat televisi sendiri. Untuk sementara, sebelum Metro TV jadi kamu boleh bergabung dengan RCTI. Nanti setelah Metro TV jadi, kamu harus kembali bekerja sama saya.

Singkat cerita, sekitar akhir tahun 1999, ada seseorang menelepon saya. Dia mengatakan, untuk membuat satu stasiun televisi cukup dengan modal Rp. 3 milyar. Saya langsung menelepon bapak Surya Paloh. Bapak Surya menyuruh saya mempertemukan dengan orang tersebut. Hasil pembicaraan memutuskan, jadi membuat Metro TV. Tujuh bulan memimpin RCTI, bapak Surya menelepon saya, surat izin Metro TV sudah selesai, saya diminta untuk kembali dan memimpin Metro TV.

Hebat, pendekatan apa yang Anda lakukan sehingga pengusaha-pengusaha media begitu percaya sama Anda?
Semuanya tak lebih dari minat. Minat berhubungan dengan prestasi. Bagi saya, tugas bukanlah beban, semakin banyak tugas yang diberikan, saya semakin bersemangat. Kerja adalah rekreasi. Kadang-kadang saya sampai lupa jam, tahu-tahu sudah jam 03.00 pagi.

20 tahun lebih Anda menjadi wartawan, prestasi apa yang telah Anda capai selama menjadi wartawan?
Prestasi saya lebih pada kepemimpinan, Saya mempunyai kemampuan memenit orang. Saya tidak punya prestasi jurnalistik. Waktu di majalah Matra saya pernah meliput tentang prostitusi yang melibatkan selebriti. Untuk mendapatkan data tentang bisnis prostitusi, saya membayar kaki tangan seorang germo. Saya memperoleh sejumlah nama selebriti, lengkap dengan nomor telepon dan tarif. Sampai saya didemo karena germonya seorang pengusaha kayu.

Walau tidak punya prestasi, tapi pernah mengalami intimidasi?
Saya sering didemo dan mendapat surat kaleng, apalagi setelah menjadi pembawa acara Kick Andy. Beberapa bulan yang lalu ketika Kick Andy mengangkat tema “Pelajar Eks PKI”, saya dituduh PKI.

Punya pengalaman jurnalistik yang sulit dilupakan?
Ketika meliput ke daerah pedalaman Papua. Saya naik pesawat kecil yang kena angin saja oleng. Jangankan naik pesawat kecil, naik pesawat besar pun saya takut. Saya takut pesawat menabrak bukit karena pesawat kecil tidak bisa lebih tinggi dari gunung. Alhasil pesawat terbang di antara sela-sela bukit dan gunung.

Anda lebih dikenal orang di belakang layar. Bagaimana perasaan Anda saat tampil di acara Kick Andy?
Saya ini tipe orang pemalu. Sebenarnya saya tidak mau menjadi pembawa acara Kick Andy, tapi bapak Surya memaksa saya. Katanya saya punya talenta dan punya seni bertanya, tajam tapi tidak menyakiti orang. Waktu di RCTI saya pernah mewawancarai Wiranto. Saya bertanya seputar kerusuhan. Pertanyaan saya sangat tajam tapi dia tidak tersinggung. Pak Surya menginginkan saya seperti Larry King. Dari sinidibuatlah program untuk saya, jadilah KickAndy. Formatnya seperti Oprah Winfrey.

Siapa tokoh yang pertama kali tampil di Kick Andy?
Warsito Sanyoto. Orangnya unik dan perfeksionis. Saat acara berlangsung, tiba-tiba dia mau pulang, acara dianggap tidak sesuai dengan keinginannya. Dia marah-marah, karena semua profilnya akan ditayangkan.

Sebagai wartawan senior, Anda pasti tahu tentang perkembangan media massa. Bagaimana pandangan Anda tentang media massa sekarang?
Pedih. Sekarang tanpa SIUP orang bisa membuat koran. Orang yang tidak punya panggilan jiwa di bidang ini akan menerbitkan media massa sesuai dengan keinginan, terbitlah media-media porno.

Sekarang siapa saja bisa menjadi wartawan. Tinggal dikasih kartu wartawan, jadi wartawan. Akibatnya terjadilah pemerasan. Tidak itu saja, pers juga menjadi tidak netral, partai-partai membuat media untuk mendukung partai atau orang yang dicalonkan partai. Kondisi ini membuat dunia jurnalistik menjadi buruk. Ini menjadi tantangan bagi pers yang benar. Saran saya, jangan menggunakan kebebasan secara absolut.

Anda menentang keberpihakan, sementara Metro TV adalah milik Ketua Dewan Penasehat Golkar, itu bagaimana?
Itu bagian yang harus diterima. Ujian yang paling berat ketika Surya Paloh terjun ke konvensi Golkar, mencalonkan diri sebagai presiden. Sempat terjadi perdebatan antara pekerja profesional (karyawan Metro TV dan Media Indonesia-Red) dan tim sukses Surya Paloh. Agar tak terseret menjadi alat kepenting an golongan, kita membuat koridor dan membuat kesepakatan antara tim sukses dan para pekerja profesional.

Bisa dikatakan Metro TV adalah televisi berita, sementara masyarakat masih suka program hiburan, bagaimana Anda menghadapi tantangan ini?
Ketika Metro TV memutuskan diri menjadi televisi berita, banyak orang tertawa, dianggap bodoh dan tidak akan bertahan lama. Selama ini konsep orang membeli televisi adalah membeli hiburan, bukan berita. Berita hanya bagian dari program. Rating berita selalu kalah oleh sinetron. Saya katakan tidak, Metro TV akan bertahan lama dan sukses. Di Indonesia belum ada televisi seperti CNN. Dan kita tidak punya pengalaman di bidang hiburan.

Memang betul, di tahun-tahun awal adalah tahun penuh penderitaan, semua biro iklan enggan memasang iklan di Metro TV. Mereka selalu berpatokan pada rating. Untuk meyakinkan biro iklan memang susah. Usaha yang kita lakukan adalah melakukan pendekatan langsung kepada pemilik produk. Kita katakan, untuk jualan memang harus memasang iklan di televisi lain, tapi untuk image tidak ada televisi kecuali Metro TV.

Terbukti, sekarang pola pikir penonton sudah berubah, berita sudah menjadi tontonan penting. Akhirnya banyak stasiun televisi membeli mobil satelit dan membenahi program berita, merekrut wartawan dan presenter baru.

Menurut Anda, bagaimana tingkat kompetisi antara industri televisi?
Tinggi sekali. Persaingan semakin ketat, porsi iklan semakin terbatas. Untuk meningkatkan rating, apa saja dilakukan. Akibatnya muncul tayangan seks dan mistik. Dalam persaingan, kecenderungan lepas kontrol itu tinggi sekali.

Siapakah orang yang paling berpengaruh dalam hidup Anda?
Rahman Tolleng, dia orang pertama yang memotivasi saya untuk maju. Dia sering memuji, kalau nanti saya bakal jadi wartawan bagus. Dia bilang, cara saya menulis dan reportase cukup bagus. Mendengar itu, saya jadi tambah bersemangat. Kedua, Lukman Setiawan. Dia yang merekrut saya untuk bergabung dengan Koran Bisnis Indonesia. Walaupun saya belum sarjana, tapi dia bilang saya sudah layak dan tidak masalah. Ketiga, Amir Daud, Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia. Dia mengajari saya tentang moral dan merubah penampilan saya menjadi lebih rapi. Dulu penampilan saya selebor, mirip Ali Topan. Bahkan waktu itu saya belum memakai kaos kaki, ha… ha… ha!

Kemudian saya masuk ke majalah Matra. Di situ saya bertemu Fikri Jufri. Dia mengajarkan saya tentang lobi, Fikri Jufri adalah seorang ahli lobi. Fikri jufri memperkenalkan saya dengan orang-orang terkenal. Mungkin karena saya lahir dari keluarga kelas bawah, saya memiliki sifat minder dan sedikit introvert. Dengan profesi jurnalis, Fikri Jufri merubah pola pikir dan penampilan saya sehingga berani tampil di kalangan jetsetter.

Mereka ini adalah orang-orang yang paling berjasa dalam merintis karier saya. Kemudian yang terakhir adalah Surya Paloh. Dia membimbing saya untuk bemengambil keputusan. Banyak hal yang sulit dicerna akal sehat dan logika, tapi di tangan Surya Paloh banyak hal jadi bisa dicerna. Tidak ada kata yang tak mungkin baginya.

Surya Paloh tipikal orang demokratis. Saya sering beradu argumen dengannya. Pola ini saya ajarkan di sini, jadi tidak ada keputusan bersifat absolut. Reporter atau siapa saja, bisa mengeluarkan pendapat. Intinya, ide itu bisa datang dari siapa saja. Dan yang lebih penting, jangan biarkan ide mati di atas meja. Biarkan ide tumbuh dan berkembang. Itulah nilai-nilai yang saya pelajari dari grup ini.

Saat ini, bisa dibilang karier Anda di media massa sudah berada di posisi puncak. Apakah Anda masih memiliki obsesi lain?
Saya ingin jadi pemilik, ha… ha… ha. Banyak orang berpikir kalau sudah berada di posisi puncak sulit untuk mulai menekuni bidang lain. Saya mungkin termasuk orang yang berpikir seperti ini. Ada waktunya untuk enough is enough. Tapi dunia ini (jurnalistik-Red) tidak bisa saya tinggalkan.

Kalau saya ngotot tetap mau seperti ini, kasihan nanti anak-anak muda, tidak bisa tumbuh dan menggantikan saya.
Sebenarnya saya sudah pernah pamit kepada bapak Surya untuk menekuni bisnis sendiri. Tapi karena waktu pamitan Pemimpin Redaksi Metro TV keluar, akhirnya dia meminta saya untuk jangan pergi dulu. Cita-citaku memang ingin memiliki bisnis sendiri. Bisnis di bidang yang sama. Misalnya, punya majalah atau tabloid kecil-kecilan. Mungkin jurnalistik adalah dunia yang akan kutekuni sampai mati.

Pertanyaan terakhir, ada yang mengatakan kalau mau kaya jangan menjadi wartawan, Anda setuju?
Setuju, jadi wartawan memang tidak bisa kaya. Kalau mau kaya jadi pengusaha atau pemilik media. Sempat terbetik di pikiran, satu hari harus berhenti menjadi wartawan. Tapi apa boleh buat, saya senang menjadi wartawan, wartawan itu adalah hobi yang dibayar. Saya sering mengatakan kepada istri, saya ini bukan pergi bekerja tapi pergi berekreasi, pulangnya dibayar.[ilham saibi blog]

konglomerat langsat


Aku itu kuaget 1/2 kuoit, ketika dapat undangan untuk menggemari langsungenak.com, di Facebook dari Nona Dita. "Apalagi ini?", pikirku dalam hati.

Aaarghhh... rupanya, mainan baru dari Langsat. Ck... ck... Hebat!!! Bener-bener spikles aku.

Semenjak membuat rumah blogger Indonesia, dagdigdug.com pelan-pelan memiliki banyak sahabat, sebut saja:

  1. Cerpenista.Com tempat Mengarang Gotong Royong
  2. Politikana.Com tempat diskusi Politik dan Demokrasi
  3. Ngerumpi.Com tempat ngerumpi yang Pakai hati, Tidak menyakiti
  4. CuriPandang.Com tempat Ngomongin Artis dan Entertainment
  5. Publikana.Com tempat memberikan Kesaksian dan Pengalaman dan
  6. LangsungEnak.Com tempat berbagi selera dan pengalaman kuliner
  7. dan...
  8. terus..., mungkin
  9. entahapalagi.com

Pernah main ke Langsat, mencicipi enaknya penganan di Wetiga.Com? Sembari menyimak diskusi para pakar Sawah Ladang Maya disitu. Aku pernah! Dan pernah nguping omongan Pak Didi Nugraha, bahwa di masa krisis, bisnis online termasuk bisnis tangguh yang mampu untuk bertahan dan bahkan berkembang. Dan ucapan itu bukan sekadar nasihat kepada para blogger muda yang hadir waktu itu. He did it...! Bersama Paman Tyo dan Enda Nasution dan kawan-kawan lainnya, bener-bener melakukannya. Gerrrr!!!!

Dari bisik-bisik dengan para blogger malam itu, aku sempat kepikiran, "Jangan-jangan di masa depan, Indonesia ditentukan dari Langsat?" Mungkin hanya pikiran absurd, tetapi kemungkinan ke arah itu ada.

Jadi, imho, bukan hanya sekadar bisnis yang mampu bertahan di kala krisis, namun lebih dari itu bisnis Online dari Langsat ini mulai menggurita, layaknya Konglomerasi. Jadi bukan mustahil, Opini-opini penting Negara dapat diluncurkan dari sini, dari Langsat.

(Berbahagialah anda telah register di salah satunya... karena berkesempatan memercik Opini dan Pendapat itu. hehehe...)

*halah... ini katanya spikles, kok panjang? entahlah... satu hal, Aku kagum, itu saja. Tabik...![kang tutur]

polisi internet perlukah?


PRC (People's Republic of China - Republik Rakyat Cina), satu-satunya negara yang memiliki lebih dari 600.000 personil yang disebut "polisi internet", meskipun keberadaan para "polisi internet" ini tidak pernah dikonfirmasikan, tetapi aksi-aksi dari para "polisi internet" ini sungguh tidak main-main.

Situs-situs porno, situs jaringan sosial semacam Facebook, Twitter, atau Multiply, situs penyedia jasa blogging seperti Blogspot atau Wordpress, Youtube, dan masih berderet situs-situs lainnya, tidak dapat diakses langsung dengan koneksi internet. Penyebabnya? Diblokir aksesnya dari sentral. Dan untuk mengakses situs-situs di atas (minus situs porno :D), saya dan warga-warga asing lainnya harus menggunakan penyedia jasa proxy. Bahkan Google serta Yahoo diawasi penggunaan dan lalu lintasnya.

Keuntungan dari keberadaan "polisi internet" ini adalah lalu lintas data dapat dipantau. Setiap pengakses internet yang menyalahgunakan kewenangannya dengan membuka situs porno dapat dilacak, dan situs-situs porno ini dapat langsung diblokir aksesnya. Moral bangsa terlindungi dari hal-hal yang merusak.

Negatifnya, para "polisi internet" ini dapat memblokir akses terhadap situs-situs yang dianggap "membahayakan negara" semisal Facebook atau Twitter karena isu-isu sensitif di dalam negeri dapat diketahui oleh dunia secara umum. Dalam hal ini, kebebasan berpendapat dan berekspresi dari warga negara dapat dikatakan diberangus dan diingkari.

Pada akhirnya, bagi warga PRC, keberadaan "polisi internet" ini adalah 2 sisi dari koin yang sama. Dan saya bertanya-tanya, dapatkah konsep "polisi internet" ini diterapkan di Indonesia? Bagaimana menurut anda?[sri kirana]