November 25, 2009

tangerang book fair

Dapatkan buku "GADO-GADO sang jurnalis: rundown WARTAWAN ECEK-ECEK" di Tangerang Book Fair yang digelar di Kantor Walikota Tangerang, 30 November hingga 03 Desember 2009.


November 21, 2009

kpi "imbau" media agar boikot sidang

Hari ini pagi tadi saya sambil mengerjakan sesuatu mendengarkan siaran radio Elshinta. Karena keranjingan dengar berita kebetulan muncul dialog dan tanya jawab mengenai KPI. KPI a.k.a Komisi Penyiaran Indonesia adalah sebuah lembaga negara yang independen khusus membidangi masalah penyiaran media elektronik.

Pada dialog tersebut diketengahkan masalah KPI mulai Desember 2009 akan menghentikan siaran langsung sidang pengadilan dengan alasan yang cukup tidak masuk diakal, yaitu melindungi kepentingan anak-anak akibat dari keterangan sidang pengadilan yang bisa mengarah kepada asusila atau kekerasan.

Namun dari dialog yang terjadi, saat itu KPI diwakili Ario Bimo selaku anggota, banyak orang yang menyesalkan dan memprotes keinginan KPI dengan alasan keterbukaan. KPI pertama-tama beralasan bahwa hal ini supaya melindungi adanya praduga tak bersalah tetapi karena diserang lagi dengan adanya sidang terbuka untuk umum maka berubah lagi menjadi melindungi anak-anak. Masalah perlindungan kepada anak ini juga diprotes sebab semua pendengar menyatakan sangat tidak mungkin anak-anak akan mengikuti satu sidang pengadilan. Biasanya anak-anak hanya akan menonton sinetron (yang dikatakan sangat tidak bermutu), film kartun yang mengundang kekerasan dan infotainment yang sudah sangat merusak akhlak namun untuk sidang pengadilan sama sekali tidak. Justru para pendengar menginginkan ketiga masalah diatas agar ditangani KPI dan bukan masalah sidang pengadilan yang harus dibatasi.

Alasan para pendengar memang benar sebab sepertinya KPI ini sudah diminta pihak tertentu agar membatasi atau meniadakan acara-acara sidang pengadilan secara langsung. Keberatan pendengar adalah bahwa sidang pengadilan yang cisiarkan secara langsung adalah terbuka untuk umum dan berhak diketahui khalayak luas. Jadi masalah adanya melindungi praduga tak bersalah dan anak-anak sangat kabur dan sumir serta tidak memiliki dasar hukum sama sekali.

Jadi melalui artikel ini hendaknya KPI lebih memposisikan diri sebagai lembaga yang melindungi masyarakat dari tontonan amoral dan sangat merusak dibanding mengikuti kehendak segelintir orang yang ingin menyembunyikan informasi, keterbukaan dan kebenaran dari semua orang.[Smart]

kendali media dan kontrol berita?

Redaksi surat kabar harian Kompas dan koran Sindo (Seputar Indonesia) telah menerima surat pemanggilan dari Mabes Polri yang tertanggal 18-November -2009.

Surat pemanggilan itu memerintahkan kepada redaksi Kompas dan Koran Sindo agar menghadap penyidik di Direktur II Ekonomi Khusus, pada hari Jumat tanggal 20-Nopember-2009 pukul 10.00 WIB.

Redaksi harian Kompas dan koran Sindo dipanggil terkait dengan pemberitaan tentang rekaman dugaan rekayasa yang diputar di Mahkamah Konstitusi pada tanggal 3-November-2009, yang dimuat di kedua media massa itu pada tanggal 4-November-2009.

Pemanggilan itu untuk menindaklanjuti laporan Anggodo Widjojo, adik dari buronan Anggoro Widjojo, terkait laporannya kepada pihak kepolisian perihal pencemaran nama baik dirinya lewat transkrip rekaman dugaan rekayasa KPK.

Laporan dari Anggodo kepada polisi yang tertanggal 30-Oktober-2009 merupakan laporannya Anggodo yang tidak terima karena disadap KPK, sebagaimana yang diatur dalam pasal 421 KUHP jo 310 jo 311 KUHP tentang pencemaran nama baik dan fitnah.

Disamping itu, juga laporan dari Anggodo kepada polisi yang tertanggal 2-November-2009 merupakan laporannya Bonaran Situmeang, pengacaranya Anggodo, perihal tindak pidana penyalahgunaan wewenang dan penyadapan melalui media elektronik, sebagaimana yang diatur dalam pasal 421 KUHP jo Pasal 19 ayat 2 UU No 18 tahun 2003 tentang advokat jo pasal 47 UU RI No 11 tahun 2008 tentang ITE.

Hal ini tentu akan menimbulkan keprihatinan di sementara pihak kepada pihak Polri, dimana saat ini menguat desakan untuk menahan Anggodo Widjojo, akan tetapi polisi malah bertindak sebaliknya, justru malahan mendahulukan serta menindaklanjuti laporan Anggodo Widjijo perihal pencemaran nama baik dirinya melalui transkrip rekaman dugaan rekayasa kasus KPK.

Akank ah Kompas dan Sindo akan dijadikan model pembelajaran bagi pihak media massa arus utama agar membatasi diri dalam memberitakan kasus dugaan rekayasa kasus KPK ?.

Inikah saat jarum jam sejarah kembali berputar ke masa lalu dimana masa sekarang ini akan memulai kembali penerapan cara-cara lama dalam metodeKendali Media dan Kontrol Berita’?[Bocah nDeso]

18 pasal jurnalisme dan filsafat

Setelah kejadian Kompas dan Sindo yang akan menghadapi Polisi kemarin, meskipun akhirnya tidak jadi, saya mencoba buka-buka tulisan tentang jurnalisme. Dan saya menemukan tulisan ini, yakni tentang dunia jurnalisme dan filsafat. Silahkan baca, semoga bermanfaat.

18 Pasal Jurnalisme dan Filsafat

  1. Setiap tahun, puluhan jurnalis di seluruh dunia menghadapi ancaman kematian di ujung pena mereka. “Jurnalisme,” tulis Ian Hargreaves dengan masygul, “bukan urusan yang mudah.” [1] Sepanjang tahun 2004, 56 orang jurnalis dibunuh setelah melakukan pekerjaan mereka, dan selama satu dasawarsa (1994-2004), jumlahnya mencapai angka 337. Jurnalisme adalah kerja yang berisiko. Tapi, tanpa risiko, bagaimana kebenaran dapat dibicarakan?
  2. Jurnalisme yang baik selalu menunjukkan keterkaitan antara risiko dan kebenaran. Keterkaitan ini—yang lebih dari sekadar hubungan “struktural”, tetapi juga mengandung di dalamnya hubungan-hubungan ontologis yang lebih mendalam—juga tampak dalam filsafat. Sejarah filsafat adalah sejarah keterkaitan antara risiko dan kebenaran. Kita akan berangkat dari problem ini untuk melihat bagaimana filsafat dan jurnalisme saling terkait dan belajar satu sama lain.
  3. Jika filsafat mesti berangkat dari persoalan, maka persoalannya bukan “apakah jurnalisme dapat menjadi filosofis?” (dan karenanya melahirkan sejenis genre “jurnalisme filosofis”, sebagai suplemen bagi “jurnalisme sastrawi” yang lebih dulu ada), bukan juga “bagaimana menjadikan jurnalis sebagai filsuf?”, atau “bagaimana sebaiknya seorang jurnalis berfilsafat”, namun “bagaimana menjadikan filsafat sebagai inspirasi dalam kerja jurnalisme?”, dan dengan demikian, meletakkan filsafat tidak secara konkret dan instrumental-praktis dalam kerja jurnalisme, tapi menjadikannya suatu hal yang implisit, namun berpengaruh secara aktual dalam jurnalisme itu sendiri.
  4. Filsafat dan jurnalisme sesungguhnya selalu terlibat dalam hubungan yang ambigu dan terkadang antagonistik: filsafat tak pernah mengakui secara eksplisit signifikansi jurnalisme bagi dirinya. Di satu sisi, dalam salah satu fase sejarahnya, filsafat pernah menggunakan jurnalisme sebagai mediumnya. Di sisi lain, filsafat tidak menganggap serius jurnalisme, atau menilainya cukup adekuat untuk menjadi medium bagi pemikiran filosofis. Kita tahu bagaimana Voltaire di era Pencerahan, atau Diderot, menggunakan surat-surat semi-jurnalistik untuk menyampaikan kritik dan filsafat mereka. Kita juga tahu bagaimana Jean-Paul Sartre atau Albert Camus menjadi jurnalis handal di era Eksistensialisme Prancis—dan tetap dikenal sebagai filsuf. Demikian juga dengan Hannah Arendt, yang publikasi-publikasinya di New Yorker merefleksikan secara filosofis rezim fasisme Nazi; atau Walter Benjamin, yang esai-esai filosofisnya di koran-koran Jerman merefleksikan keruntuhan modernisme. Namun di sisi lain, kita juga mendengar kecurigaan para filsuf terhadap “yang-populer” (Nietzsche, Heidegger, Derrida, Foucault) dan keengganan para filsuf untuk menulis di suratkabar atau media umum lainnya.
  5. Ada keyakinan di antara para filsuf bahwa, pertama, jurnalisme bukan medium yang tepat untuk berfilsafat dan mengembangkan pemikiran yang panjang. Jurnalisme mewakili apa yang disebut Plato sebagai doxa, atau dunia opini yang selalu berubah-ubah. Sementara tugas seorang filsuf adalah membongkar idea di balik doxa, jurnalisme sebagai salah satu representasi doxa berkutat pada “penampakan”, pada apa yang “tampak” atau phainomenon. Kedua, sejarah filsafat telah menunjukkan bahwa sebagian filsuf memiliki kecemasan dan fobia tertentu terhadap “tulisan”, dalam pelbagai jenisnya. Derrida pernah menunjukkan dalam studinya, bagaimana filsafat dihantui oleh sejenis ketakutan pada “grammatologi”, atau kebenaran-yang-tertulis, dan bersandar pada keyakinan tentang kebenaran-murni di luar bahasa (logosentrisme). Kedua hal ini merupakan locus di mana filsafat dan jurnalisme berkontradiksi.
  6. Namun jurnalisme yang muncul secara ekstensif sejak abad ke-18 telah mengubah tatanan dunia dan cara manusia menghayati kehidupannya. Ia mengubah cara kita berkomunikasi, berinteraksi, dan berhubungan satu sama lain dan dengan demikian, mengubah secara revolusioner relasi-relasi antarmanusia ke arah hubungan yang lebih sederajat. Jurnalisme telah mengubah cara kita memandang kekuasaan dan kemapanan—sesuatu yang juga dilakukan oleh filsafat. Bukankah jurnalisme telah memicu lahirnya Revolusi Prancis, melalui tulisan-tulisan populer Voltaire zaman itu? Juga, bukankah atas jasa jurnalisme, muncul gagasan negara-bangsa yang pada gilirannya membangkitkan imajinasi kebangsaan, nasionalisme, dan kemerdekaan di berbagai negeri? [2] Radikalitas jurnalisme terletak bukan saja pada kandungannya, tetapi pada medium dan cara dia bekerja mengubah secara epistemik ketimpangan pengetahuan di antara pembacanya. Jurnalisme menciptakan kondisi di mana semua orang berhak mengetahui dan bertanya tentang keadaan. Kesetaraan semua orang untuk mendapatkan pengetahuan dan pertanyaan merupakan universalitas jurnalisme yang mempertemukannya dengan cita-cita universalitas filsafat untuk menggapai kebenaran.
  7. Kini, jurnalisme tak dapat dipetakan secara hitam-putih: ia telah berkembang menjadi dunia tersendiri, dengan hukum-hukum, mekanisme, prosedur, dan cara kerjanya sendiri yang semakin otonom. Jurnalisme telah menjadi teritori dengan wilayah epistemologis-nya sendiri, dan karenanya memunculkan disiplin pengetahuan-nya sendiri. Jurnalisme telah menjadi fenomena dan bahan bagi sosiologi, politik, ekonomi, sejarah, etika, sastra, dan bahkan telah mengadopsi berbagai perkembangan teoretis kontemporer terbaru seperti semiotika. Lalu, di mana letak kontribusi filsafat bagi jurnalisme?
  8. Filsafat tidak dapat memberikan kontribusi pada aspek praktis dan teknis dari jurnalisme (kecuali filsafat menjadi sejenis “etika terapan” atau “etika jurnalisme”), tetapi ia dapat memberikan sumbangan penting, tidak sebagai suatu disiplin yang terpisah, tetapi sebagai suatu perspektif dan interogasi bagi kinerja jurnalisme. Filsafat memetakan, membongkar, membedah, dan mendekonstruksi praktek jurnalisme dan memberikan kemungkinan-kemungkinan baru yang radikal (secara etis, politis, epistemologis) bagi jurnalisme. Filsafat juga memungkinkan jurnalisme untuk melakukan refleksi-diri (auto-reflection) sekaligus otokritik (auto-criticism). Hal ini akan menghindarkan jurnalisme dari sekadar menjadi “mesin informasi” yang bekerja dengan regularitas dan rutinitas sehingga mudah terdeterminasi dan takluk pada kekuatan-kekuatan tertentu.
  9. Apa sebenarnya hakikat kerja jurnalisme?
  10. Jurnalisme, pertama-tama, terkait erat dengan apa yang diistilahkan oleh Edmund Husserl sebagai “pengalaman” yang objektif (Erfahrung): kita tahu, bahwa kerja jurnalisme dikonstitusi oleh kerja reporting,[3] yaitu melaporkan suatu hal (peristiwa, kejadian, atau figur) ke dalam suatu bentuk representasi pemberitaan tertentu. Dengan demikian, terdapat pengalaman yang ingin dihadirkan dan direpresentasikan—pengalaman itu bersifat objektif di luar sang jurnalis, namun sang jurnalis tidak diam begitu saja di depan pengalaman itu melainkan terlibat dengannya. Pelibatan ini mengubah “pengalaman” dari sekadar objektif (Erfahrung) menjadi “pengalaman” yang hidup (Erlebnise).
  11. Tapi, benarkah seorang jurnalis dapat benar-benar terlibat dengan apa yang ingin direpresentasikannya?
  12. Jurnalis bukan pengamat yang terpisah dari objeknya. Ia bukan seorang observer atas fenomena. Ia terlibat, dalam pengertian bahwa ia berpikir, merasakan, menghayati, dan merefleksikan peristiwa atau sosok yang ia akan hadirkan dan representasikan ke dalam suatu bentuk reporting tertentu.
  13. Di sini, saya membayangkan bahwa jurnalisme merupakan sebuah “revelasi” atas fenomena (phainomenon): jurnalisme adalah seni atau teknik penulisan untuk “menyingkap” (to reveal) suatu gejala atau fenomena agar menampakkan kebenarannya. Jurnalisme adalah upaya representasi atas kebenaran yang sebelumnya tak terungkapkan, agar kebenaran itu dapat diketahui dan menjadi suatu diskursus. Menyingkap sebuah fenomena adalah sebuah kerja radikal sebagaimana halnya kerja filsafat itu sendiri. Penyingkapan ini adalah perjuangan terus-menerus untuk membuka “kebenaran” sampai ke akar-akarnya, sampai ke hal-hal yang tak terduga di baliknya, atau yang dengan sengaja atau tak sengaja disembunyikan—sesuatu yang juga menjadi kegelisahan dari setiap refleksi filosofis.
  14. Ada hal yang menarik di sini: bahwa rupanya, seperti dikatakan Heidegger, ada keterkaitan erat antara kebenaran dan kebebasan.[4] Seseorang tidak dapat mengungkapkan kebenaran kecuali ia memiliki kebebasan untuk mencari dan menemukan kebenaran tersebut. Kebebasan merupakan conditio sine qua non bagi kebenaran agar dapat terungkap; tanpa kebebasan, seorang subjek (jurnalis, dalam hal ini) tidak dapat berbicara tentang kebenaran kecuali sebagai angan-angan; dengan kata lain, untuk mengaktualkan kebenaran, kebebasan harus terlebih dulu diaktualkan.
  15. Sekarang, kita mencoba berpikir negatif: dalam segala kondisi yang mungkin dibayangkan, apakah yang menjadi musuh kebebasan dan kebenaran? Musuh kebebasan dan kebenaran, bila merujuk pada refleksi Heidegger, bukan rezim yang otoriter, otoritas pengetahuan atau politis, atau institusi formal-yuridis tertentu, tetapi “penutupan” (concealment, Verbergung), “ketersembunyian” (hiddenness, Verborgenheit), “kelupaan” (forgetting, Vergessenheit), yang kemudian pada gilirannya melahirkan “ketidakbenaran” atau “kepalsuan” (untruth, falsity, pseudos). “Penutupan” berarti ketertutupan kebenaran secara sadar karena pengungkapan atas kebenaran itu dapat menimbulkan sesuatu yang tidak diinginkan. Sementara “penutupan” merujuk pada aktivitas sadar, “ketersembunyian” merujuk pada ketertutupan kebenaran secara tak sadar karena kemalasan atau ketidakmauan kita untuk berpikir tentangnya, dan dapat berarti juga suatu ketersembunyian kebenaran karena “kelupaan” terhadapnya, atau kelupaan yang disengaja dan tersistematisir, suatu “politik pelupaan”. Semua rentetan ini bagi Heidegger merupakan musuh kebebasan dan kebenaran.
  16. Kebebasan dapat menjadi hilang dan absen di tengah masyarakat dan individu yang menutup-nutupi, tidak mengakui, menyembunyikan, merepresi, dan menekan hak-haknya atau akses terhadap hak-hak itu. Karena itu, “penutupan” dan “ketersembunyian” berlawanan dengan “idea” kebebasan. Sementara, kebebasan juga hilang jika masyarakat atau individu melupakan hak-haknya, melupakan apa yang mestinya diingat dan terus diingat, dan—yang paling parah—melupakan bahwa mereka berhak bebas. Karena itu, “kelupaan” adalah negatif bagi kebebasan; dan dengan absennya kebebasan, maka absen pula kebenaran.
  17. Di sini kerja jurnalisme sejalan dengan upaya setiap refleksi filosofis yang mendalam untuk mengungkap kebenaran dengan mengafirmasi kebebasan. Di dalam jurnalisme, ada idea of truth dan idea of freedom—dan kedua idea tersebut berkorelasi dengan idea of writing: penulisan sebagai tindakan revelatif untuk menyingkap kebenaran dan mengafirmasi kebebasan dalam pengertian yang paling luas. Tindakan “revelatif” itu tentu saja tidak mungkin lahir jika sang jurnalis tidak terlibat sedalam-dalamnya dengan pengalaman yang ingin diangkatnya.
  18. Apa yang dapat “diajarkan” oleh filsafat untuk jurnalisme? Pertama-tama bahwa jurnalisme bukan sekadar teknik dalam pengertian yang instrumental-teknis-pragmatis. Jurnalisme tak berurusan dengan sekadar teknik menulis yang baik, menarik, memikat, atraktif, menghibur, suatu art of entertainment sebagaimana klise terjadi saat ini (di mana informasi telah bercampur-baur dengan konsumsi dalam satu paket cepat saji “info-tainment”). Kecuali hanya akan menciptakan “kepalsuan” baru, karena memproduksi “kelupaan-kelupaan” baru, mereduksi jurnalisme pada sebentuk teknik menulis saja, juga akan memperlemah cita-cita radikal dari setiap jurnalisme yang bermutu. Sebaliknya, meski penting memperdalam aspek teknis dari jurnalisme, penting juga menggarisbawahi bahwa jurnalisme adalah suatu kerja “kemanusiaan” yang berfungsi mempertanyakan, menginterogasi, dan menyingkap realitas melalui perspektif-perspektif baru yang mungkin atau belum mungkin dibayangkan. Maka, saya membayangkan, jika Heidegger menyebut bahwa berfilsafat dan berpikir filosofis adalah thoughtful questioning,[5] mempertanyakan sesuatu dengan penuh pemikiran, dengan cermat dan hati-hati, mendalam, tak gegabah, namun interogatif dan radikal-menukik ke dalam, saya ingin menyebut jurnalisme yang bermutu sebagai thoughtful reporting, suatu kerja jurnalisme yang melaporkan, menyingkap, membuka, menyibak, dan menyidik hal-hal yang mungkin ditutup-(tutup)i, disembunyikan, dilupakan, direpresi, dan dideterminasi secara sengaja maupun tidak sengaja. Jurnalisme semacam ini akan membuka akses kepada pertanyaan publik dan ingatan publik terhadap segala bentuk “ketidakbenaran” atau “kepalsuan” tadi. Ini berarti bahwa jurnalisme terkait juga dengan idea of publicity, suatu gagasan untuk membuat kebenaran menjadi terekspos di hadapan res publica. Apakah saya tidak sedang bermimpi?[Agus PW]

izin siaran tiga stasiun tv terancam dicabut

Izin siaran tiga stasiun televisi swasta nasional di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, terancam dicabut bila hingga akhir tahun ini tidak melakukan penyesuaian perizinan ke daerah.

"Ketiganya belum menghubungi kami untuk proses penyesuaian izin, padahal batas akhirnya 28 Desember 2009. Bila tidak ada itikad baik, siarannya akan dihentikan dan izinnya dicabut," kata Kepala Bidang Struktur Sistem Penyiaran KPID Provinsi Kalteng John Retei Alfrisandi di Palangkaraya, Sabtu.

Penghentian siaran dan pencabutan izin tersebut, kata John, merupakan amanat undang-undang sehingga semua stasiun televisi akan diperlakukan sama untuk menaati aturan itu meski sebelumnya telah diberi kelonggaran.

Tiga stasiun televisi swasta nasional yang siarannya terancam dihentikan mulai tahun depan itu yakni RCTI, SCTV, dan Metro TV, yang merupakan tiga stasiun televisi swasta pertama yang mengudara di Kalteng.

John mendesak ketiga stasiun televisi itu segera melakukan penyesuaian izin dan membentuk badan usaha lokal di daerah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 32 Tahun 2007 tentang Penyesuaian Penerapan Sistem Stasiun Jaringan.

"Selain mencabut izin yang dibayar tahunan, tidak menutup kemungkinan juga izin penyelenggaraan penyiaran (IPP) tiga stasiun televisi itu akan dicabut," tegas John.

KPID menilai sebagai televisi pertama yang siaran di Kalimantan Tengah ketiganya mendapat prioritas untuk menduduki kanal yang sudah ada dan seharusnya dapat berperan lebih aktif.

Dari 13 kanal televisi di Palangkaraya, hampir semuanya saat ini sudah diduduki stasiun televisi swasta dan daftar antre juga menumpuk untuk mendapatkan kanal yang masih ada.

"Kalau ketiga stasiun itu tidak memproses izin hingga batas akhir nanti, lebih baik kanal yang diduduki kami berikan kepada pengusaha lain," jelasnya.

Langkah berbeda diambil lima stasiun televisi swasta nasional dan tiga televisi lokal yang baru mengudara di Kalimantan Tengah yang telah bersedia mengurus penyesuaian izin daerah.

Stasiun televisi swasta nasional yang tengah mengajukan perizinan itu adalah Global TV, Trans TV, Trans 7, dan TV One, serta tiga televisi lokal yakni Fiesta TV, Kalteng TV dan PT Kalaweit.

"Kami harap semua perizinannya bisa diselesaikan tahun ini juga," kata John.[ANTARA]

November 13, 2009

prolog gado-gado sang jurnalis

Buku ini laksana rundown sebuah program berita menjadi segmen per segmen. Segmen pertama menguraikan sepenggal perjalanan hidup yang berkaitan dengan profesi jurnalis televisi. Dari sekedar gila menonton televisi hingga menjadi mahasiswa. Selain mencoba membangun inspirasi dan kebanggaan akan profesi kewartawanan, segmen itu pun menguraikan sejumlah pengetahuan Dasar-Dasar Jurnalistik, Filosofi dan Sejarah Profesi Kewartawanan, Manajemen Media Massa, dan Penulisan Berita.

Segmen dua dan tiga makin fokus pada persiapan menekuni profesi jurnalis televisi dan aspek-aspek di dalam lingkungan televisi. Dari menguraikan pengetahuan tentang persiapan peliputan untuk jurnalistik televisi hingga mengenal profesi-profesi khusus di lingkungan Divisi Pemberitaan. Dalam segmen tiga, buku ini akan mengajak Anda memasuki kavling-kavling penggarapan berita televisi menurut bidang masalahnya. Jika dibuat komposisi, sekitar 70% uraian mengungkap praktik serta sisanya berisikan teori dan hal-hal remen-temeh lainnya.

Segmen terakhir, buku ini akan memaparkan sisi jurnalis televisi yang back to the jungle alias balik kanan ke kantor. Segmen ini mengupas teori ideal dan praktik pekerjaan sebagai produser, plus perkembangan tren jurnalistik televisi terbaru. Selain “booming” program infotainment yang mengalahkan pamor program berita, perkembangan manajemen media massa termutakhir, hingga masa depan yang harus dibangun sang jurnalis televisi saat bintangnya meredup.

Jadi, terasa kan cita rasa “gado-gado”nya?

Bisa jadi gaya penulisan buku ini dianggap ecek-ecek, karena ditulis oleh seorang yang menganggap dirinya sebagai jurnalis televisi yang ecek-ecek, meski sejatinya buku ini menyuguhkan "sesuatu" yang sulit dipandang ecek-ecek. Karena dari serangkaian cerita gado-gado yang dibuat penulisnya, Anda akan dibawa untuk menentukan bagian-bagian yang penting dalam jurnalistik dari sekian lama petualangan penulisnya sebagai jurnalis.

Atau justru Anda menjadi salah satu yang berani menyatakan bahwa buku ini ecek-ecek? BACA DULU![GGsj: rWEE]

November 03, 2009

"dagelan" hukum di mahkamah konstitusi

Rakyat Indonesia dibuat terpana dengan "dagelan" yang ditayangkan langsung oleh sejumlah televisi swasta dari Gedung Mahkamah Konstitusi, Selasa (3/11). Ratusan orang melihat langsung sidang terbuka yang memperdengarkan rekaman percakapan telepon seluler Anggodo Widjojo dengan sejumlah pejabat kepolisian dan kejaksaan.

Rekaman itu dengan vulgar menyebut bagaimana merancang kasus hingga tawar-menawar imbalan kepada pihak-pihak yang diduga ikut merekayasa. Sejumlah tokoh masyarakat hingga aktivis 1998 berdatangan ke Gedung Mahkamah Konstitusi (MK).

"Saya ngeri sekaligus kaget, betapa proses peradilan di negara ini bisa didikte Anggodo. Ini menunjukkan mafia peradilan kuat menguasai lembaga penegak hukum kita," kata Teten Masduki, Sekretaris Jenderal Transparansi Internasional Indonesia, di Gedung MK.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar juga terlihat kaget dengan fakta yang dipaparkan secara vulgar dalam rekaman. Beberapa kali ia keluar-masuk ruang sidang MK. "Saya kira rekaman ini bagus dibuka untuk umum. Jangan sampai ada sesuatu yang ditutup-tutupi," kata Patrialis.

Adnan Buyung Nasution dan para anggota lain Tim Independen Klarifikasi Fakta dan Proses Hukum Kasus Bibit-Chandra beberapa kali terlihat tak kuasa menahan senyum. Apalagi ketika terjadi perdebatan tentang jumlah honor yang harus dibayar kepada para pihak yang ikut merancang.

Di luar gedung sidang, sejumlah pengunjung sidang pun berkali-kali dibuat terpana dan tertawa dengan dialog vulgar dan terkadang lucu antara Anggodo dan berbagai pihak. "Saya takutnya kita disadap nih, Pak," kata seseorang yang diduga Ketut Sudiarsa, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, kepada Anggodo, contoh isi rekaman yang membikin geli.

Di kawasan Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, Suryo (42), karyawan swasta, mengaku tak sempat menyimak televisi yang menayangkan sidang di MK. Namun, ia mengetahui sebagian isi rekaman yang diperdengarkan dari penuturan sejumlah rekan. Dengan kesal, ia berkomentar, "Terhina banget rasanya jadi rakyat. Pejabat-pejabat publik kita begitu gampang dibeli!"

Di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, sidang perkara pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen sedang digelar. Namun, pegawai Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang sedang tidak bertugas terlihat menyaksikan siaran langsung sidang di MK dari salah satu stasiun televisi.

Di Kejaksaan Agung, suasananya juga seru. Pegawai di Pusat Penerangan Hukum Kejagung, misalnya, menyimak pemutaran rekaman di MK. Begitu juga jaksa-jaksa di Gedung Bundar Kejagung, menyaksikan siaran televisi.

Berharap Presiden

Antusiasme sekaligus kegeraman masyarakat menyimak rekaman yang diputar di MK juga tecermin dari puluhan wartawan yang mengerumuni televisi di ruang pers Istana Kepresidenan, Jakarta.

Meskipun agenda kegiatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang akan diliput sudah selesai sekitar pukul 14.00, para wartawan masih berkumpul di ruang pers Istana Kepresidenan hingga usai penayangan sidang MK di televisi. Sebagian dari mereka juga berharap Presiden akan memberikan komentar atau mengambil kebijakan yang signifikan seusai menyimak pemutaran rekaman.

Wakil Presiden Boediono nyaris tidak menonton sidang di MK. Kebetulan, agenda Boediono memang padat. Mulai pukul 11.30, ia menerima pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan yang dipimpin Hadi Purnomo. "Setelah itu langsung memimpin rapat bersama tiga menteri koordinator untuk menindaklajuti program kerja 100 hari dan lima tahun," ujar Staf Khusus Wapres Bidang Media Massa Yopie Hidayat.

Namun, sebelum rapat bersama tiga menko dimulai, Menko Politik Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto sempat berkomentar, "Wah, kita harus rapat, ya. Seharusnya kita bisa menonton dulu tayangan rekaman pembicaraan di televisi."

Mendengar komentar tersebut, Menko Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono dan Menko Perekonomian Hatta Rajasa terlihat hanya senyum-senyum saja. (DAY/HAR/IDR/AIK) --http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/11/04/03385571/dagelan.hukum.di..mahkamah.konstitusi

gonjang-ganjing di tv swasta kita

Sungguh situasi yang saya bayangkan tidak nyaman. Kebersamaan sebagai ciri khas kerja jurnalistik pastinya sudah tak ada lagi di sana. Tangan kekuasaan kemudian mengubah semuanya, mulai dari kebiasaan kerja, perombakan tim, hingga format siaran. Pemred kemudian dipegang langsung sang pemilik modal.

Bagi pemirsa, seperti yang saya rasakan, layar Liputan 6 kemudian tak lagi secantik dan sedinamis dulu. Tak ada gaya siaran Bayu Sutiono yang penuh greget, tak ada lagi gaya tegas Rosi saat talk show. Bahkan momen Pemilu dan Pilpres yang biasanya menjadi kekuatan SCTV, berlalu begitu saja, tanpa sesuatu yang spesial.

Bagi pemirsa dan dunia jurnalistik TV, ini kemunduran. Suka tak suka Liputan 6 SCTV adalah sebuah ikon berita TV di Indonesia. Saya tahu persis mereka membangun kejayaan dari bawah, dari kondisi yang amat sangat pahit dengan sokongan dana yang minim di awal pendirian Liputan 6.

Perlahan dengan kerja kerasnya, Liputan 6 kemudian menancapkan tajinya. Bahkan menjadi acuan serta rujukan banyak kalangan, termasuk para pengambil keputusan di negeri ini.

Kebesaran Liputan 6 dibangun dengan mengedepankan kapabilitas dan kredibilitas, sesuai dengan motonya Aktual, Tajam, Terpercaya.

Saya sendiri tak tahu pasti ada apa di internal SCTV sehingga harus mem-phk karyawan sebanyak itu. Apakah ini karena imbas krisis keuangan Amerika? Saya kok tak terlalu percaya. Karena setahu saya, kondisi keuangan stasiun TV ini lumayan sehat dibandingkan beberapa stasiun TV yang lain. Ataukah ini cara perusahaan mengurangi SDM tetap dengan memperbanyak karyawan kontrak? Entahlah?

Situasi berbeda tampaknya juga dialami 2 stasiun TV lainnya. TPI sedang menunggu putusan kasasi kasus Pailit yang diajukan Crown Capital. Sementara kabar gonjang-ganjing lainnya datang dari stasiun tv milik Bakrie, Antv. Kabarnya mereka menghadapi situasi serupa dengan Sctv pasca hengkangnya raksasa media Rupert Murdoch selepas lebaran lalu.[Syaifuddin's Blog]

Artikel Terkait:
last man standing in liputan 6 sctv