Artikel di bawah ini saya copy dari facebook. Sebuah "sudut pandang lain" dalam kasus markus palsu TV One vs Polri.
Sudah saya duga sebelumnya, dalam kasus ini saya tidak lantas mudah berpihak kepada salah satu dari mereka yang berseteru, karena keduanya SANGAT MUNGKIN merekayasa; baik TV One yang merekayasa wawancara markus tersebut (yang berarti polisi berada di pihak yang benar), atau Polri-lah yang mengada-ada dengan menuduh TV One melakukan wawancara palsu (yang berarti TV One berada di pihak yang dizolimi).
Setelah membaca artikel di bawah ini, saya berpikir: jangan-jangan keduanya (Polri dan TV One) memang sengaja merekayasa kasus "markus palsu" untuk membersihkan nama Polri, dengan mengorbankan kredibilitas TV One (yang paling akan mengorbankan Indy Rahmawaty sebagai TUMBAL kasus ini).
Bukankah TV One seringkali mendapatkan akses eksklusif dari polisi pada peristiwa-peristiwa penyerbuan teroris? Bukankah ini menunjukkan ada "hubungan mesra" antara Polri dan TV One? Masa iya TV One berani ambil resiko dengan sengaja mewawancara markus palsu untuk menjatuhkan Polri yang seringkali membantunya mendapatkan berita eksklusif dari kepolisian?
Oke, lebih detilnya, silakan saja membaca artikel yang ditulis Dandhy Laksono di bawah ini. Selamat membaca![Rinaldiwati]
-----------------------------------
Tv One, Polisi, dan Markus 'Aspal'
oleh Dandhy D Laksono
"...aku matiin HP karena aku dicari pimpinan. Aku nggak berani ke kantor pusat di Pulogadung (Kantor TVOne) karena didesak pimpinan disuruh buka identitas kamu. Aku menolak, jelas bukan dari saya. Saya nggak kasih tahu apapun soal Abang." (detikcom, 9 April 2010, 16:35 WIB).
Dari sekian banyak dimensi dalam kasus ini, bagian inilah yang paling menarik perhatian saya. Itulah isi komunikasi melalui Blackberry antara Andris Ronaldi dan presenter Tv One, Indy Rahmawati, yang dibuka kepada umum oleh Polri dalam sebuah jumpa pers, 9 April 2010.
Andris Ronaldi adalah narasumber Tv One dalam acara talkshow "Apa Kabar Indonesia" (AKI) yang ditayangkan 24 Maret 2010. Dengan wajah tertutup, Andris yang diwawancarai presenter Indy Rahmawati, dikenalkan sebagai salah seorang makelar kasus (markus) yang aktif di lingkungan Mabes Polri. Tak lama kemudian, Mabes Polri mengumumkan bahwa narasumber Tv One itu palsu, sehingga "Bang One dan kawan-kawan" diadukan ke Dewan Pers. Setelah acara talkshow itu, polisi memang berusaha mencari identitas dan keberadaan Andris, hingga akhirnya ditemukan. Kepada polisi lah, Andris bernyanyi bahwa ia dijebak Tv One untuk mengaku sebagai markus demi kepentingan talkshow.
Tentu saja Tv One membantah. Dalam sebuah jumpa pers, jajaran redaksi mengatakan akan menggugat balik bekas narasumbernya itu. Tapi di saat yang sama, redaksi juga meminta maaf yang "sebesar-besarnya bila institusi Polri dan Bapak Kapolri terganggu" (detikcom, 9 April 2010, 17:36 WIB).
Bila benar susbtansi pesan tersebut -bahwa Indy diminta pimpinan di redaksi untuk membongkar jatidiri narasumbernya, dan ia tidak sedang membual kepada Andris, maka ini adalah indikasi pelanggaran jurnalistik yang tak kalah serius. Ini harus menjadi bagian penting yang diklarifikasi oleh Dewan Pers saat memanggil awak redaksi Tv One.
Potongan isi SMS tersebut memang masih bisa ditafsirkan dua hal: pertama, pimpinan Tv One meragukan kredibilitas narasumber bawahannya, dan berupaya memverifikasi sendiri; atau kedua, pimpinan Tv One sedang membantu seseorang atau institusi yang berusaha menemukan identitas narasumber yang seharusnya justru mereka lindungi.
Sumber Anonim
Bagian ini juga bisa digunakan sebagai pintu masuk untuk mengurai polemik dugaan markus palsu di Tv One. Bila pimpinan Tv One pernah mendesak agar Indy membuka indentitas narasumbernya untuk tujuan verifikasi, maka sesungguhnya sistem di redaksi sudah bekerja dengan baik. Mereka sudah mendeteksi masalah kredibilitas Andris sebagai narasumber anonim dalam talkshow tentang markus. Hal ini mestinya disampaikan kepada publik saat para juranlis Tv One menggelar jumpa pers, 9 April lalu.
Tapi sejauh ini, hal tersebut tidak muncul. Bahkan, seperti diakui General Manager Tv One, Totok Suryanto, Andris sudah berkali-kali menjadi narasumber Tv One seperti di program AKI Pagi (18 Maret 2010), Nama dan Peristiwa, bahkan talkshow Jakarta Lawyers Club yang (biasanya) dipandung langsung Pemimpin Redaksi Karni Ilyas. Dus, kecil kemungkinan pimpinan Tv One "mengejar-ngejar" Indy Rahmawati agar memberikan nomor telepon Andris untuk kepentingan verifikasi.
Sehingga saya beranjak pada dugaan kedua, bahwa isi SMS yang terjadi pada 25 Maret 2010 itu, justru mencerminkan adanya upaya malpraktik jurnalistik yang dilakukan atasan Indy, untuk mengkhianati integritas jurnalisnya sendiri. Pimpinan Tv One patut diduga sedang membantu seseorang atau institusi yang berkepentingan dengan jatidiri si narasumber anonim itu.
Sebelum kasus ini muncul ke permukaan, Andris Ronaldi secara jurnalistik berstatus sumber anonim. Narasumber yang jatidiri dan keberadaannya wajib dilindungi oleh redaksi. Karena kewajiban inilah, maka redaksi memiliki konsekuensi menanggung semua akibat yang timbul dari informasi yang disampaikan oleh sumber tersebut. Bila seorang wartawan setuju untuk menggunakan sumber anonim, maka tanggung jawab sudah diambil alih olehnya. Termasuk konsekuensi bila ternyata si narasumber adalah penipu.
Karena konsekuensi yang tak ringan inilah, maka dalam praktik jurnalistik, sumber anonim tak bisa digunakan sembarangan. Ketika Bob Woodword dan Carl Bernstein membongkar skandal Watergate yang melibatkan Presiden Richard Nixon di era 1970-an, mereka juga menggunakan petunjuk-petunjuk yang diberikan seorang sumber anonim dengan nama "Deep Throat". Tapi tak setiap keterangan Deep Throat ditelan mentah-mentah. Editor The Washington Post, Ben Bradlee, saat itu menerapkan kriteria yang harus dipatuhi Woodword dan Bernstein. Agar keterangan Deep Throat layak muat, maka harus didukung oleh "deep throat" lain yang tak saling terkait.
Woodward dan Bernstein memilih bungkam selama 30 tahun untuk menyembunyikan identitas narasumbernya, hingga pada bulan Mei 2005, pensiunan Wakil Direktur FBI, William Mark Felt mengaku bahwa dirinyalah sang Deep Throat. Pengakuan itu disampaikan dalam sebuah wawancara di majalah Vanity Fair yang bahkan mengejutkan bagi kedua wartawan itu sendiri.
Begitulah wartawan menjaga kerahasiaan narasumbernya. Bila seorang jurnalis punya reputasi berkhianat, maka kredibilitasnya tamat, dan tak ada lagi narasumber yang bersedia membantunya (sampai hari kiamat). Pimpinan di redaksi yang biasanya adalah jurnalis senior, mestinya jauh lebih memahami hal-hal seperti ini, dan tidak terlibat dalam persekongkolan dengan pihak manapun untuk mengkhianati sumber dan mengorbankan wartawannya sendiri.
Menggugat Narasumber
Saya kira banyak yang salah menafsirkan ketika redaksi Tv One bermaksud menuntut Andris Ronaldi. Sejauh yang saya pahami, redaksi Tv One tidak menuntut Andris karena telah menjadi narasumber palsu, melainkan karena telah menuding televisi itu melakukan rekayasa. Ada dua hal yang secara substansi perlu diverifikasi dari pengakuan Andris: Pertama, dia mengaku dijebak. Andris mengaku, semula ia diundang untuk menjadi narasumber dalam topik seputar Tenaga Kerja Indonesia (TKI), tapi kemudian dibelokkan menjadi isu markus. Kedua, dia mengaku diminta menghafal skenario tanya-jawab yang sudah disiapkan tim Tv One tentang peran markus di Mabes Polri.
Keterangan Andris ini memang bertabur kejanggalan, dan Dewan Pers mestinya dengan mudah memverifikasinya. Sejauh informasi yang beredar di media massa, Andris Ronaldi adalah humas sebuah klub penggemar motor bermesin besar (moge). Dia juga disebut-sebut pernah bekerja sebagai penjual alat-alat kesehatan, karyawan perusahaan pembiayaan, bahkan punya bisnis periklanan. Di atas kertas, sebagai jurnalis, saya belum melihat sedikitpun kompetensi Andris dalam topik ketenagakerjaan, terutama TKI. Karena itu perlu diuji, misalnya dengan menanyakan singkatan BNP2TKI. Tak semua jurnalis atau anggota Dewan Pers hafal singkatan itu. Tapi sebagai narasumber topik TKI, mustahil Andris tak hafal luar kepala.
Kedua, pengakuan bahwa redaksi Tv One menyiapkan skenario pertanyaan dan jawaban memang kurang masuk akal. Bukan karena ruang redaksi media dijamin steril dari kebohongan dan rekayasa, melainkan karena konteks topiknya, yakni markus di Mabes Polri. Sebab, wartawan sendiri bukan malaikat yang tak tergoda membikin rekayasa. Justru semakin besar kasusnya, makin besar pula godaan untuk melakukan kebohongan.
November 2006, koran besar Jawa Pos tersangkut skandal wawancara palsu istri tersangka teroris Dr. Azhari. Wawancara eksklusif via telepon itu ternyata bodong sebab istri alarhum Azhari ternyata tak bisa berkomunikasi dengan baik. Ada gangguan pada pita suaranya yang tak memungkinkannya berbicara secara jelas dan lugas dalam komunikasi verbal tatap muka, konon lagi melalui telepon.
Jadi, bila saya menganggap skenario tanya jawab yang disebut-sebut Andris itu kurang masuk akal, bukan karena saya percaya sepenuhnya integritas para jurnalis Tv One (terutama setelah berita yang fatal tentang fakta kematian Noordin M Top), tapi karena topik ini telalu sensitif secara politik bagi ruang redaksi.
Siapa yang tak tahu bahwa televisi ini kerap mendapat akses khusus untuk topik-topik liputan yang berkaitan dengan polisi, terutama terorisme. Akses dibangun dari lobi institusi, ketekunan individu, bahkan dalam kasus tertentu "jurnalisme transaksional" (dimulai dari hal sepele seperti menyebut "gugur" untuk anggota polisi, dan "tewas" untuk teroris).
Dengan dependensi yang seperti ini, saya ragu Tv One berani "cari gara-gara" dengan merekayasa talkshow tentang markus yang bergentayangan di Mabes Polri. Dus, saya memang ragu dengan keterangan Andris, sebab yang paling diuntungkan dengan pengingkaran ini sejatinya adalah Mabes Polri sendiri. Bila publik bisa diyakinkan bahwa Andris adalah narasumber bodong, maka selamatlah wajah korps Polri yang baru saja kehilangan dua jenderalnya dalam kasus Gayus Tambunan itu.
Permintaan Maaf Itu
Satu lagi indikasi bahwa Tv One mustahil "cari gara-gara" dengan merekayasa talkshow tentang polisi, adalah fakta bahwa redaksi televisi ini langsung meminta maaf kepada polisi atas munculnya masalah ini (9 April 2010). Logika orang ramai lantas dipenuhi pertanyaan: Meminta maaf atas apa? Karena telah menampilkan narasumber palsu? Atau justru karena telah memberitakan fakta?
Saya menganggap permintaan maaf ini "tak jelas jenis kelaminnya". Bila Tv One meminta maaf karena menampilkan narasumber palsu, maka permintaan maaf itu lebih tepat ditujukan kepada jutaan pemirsanya, daripada untuk polisi. Publik lah-pemilik sah frekuensi yang dipinjam kelompok usaha Bakrie-yang paling dirugikan dengan penyesatan informasi, bukan semata-mata Polri. Filosofi jurnalisme yang mengabdi pada kepentingan publik (juga konsep tentang televisi terestrial) agaknya sudah tertimbun oleh hasrat untuk menyenangkan pihak-pihak tertentu demi menjaga hubungan baik. Dengan cara pandang seperti ini, tak heran bila publik dilupakan dan bisa jadi wartawan sendiri pun dikorbankan.
Lantas kemungkinan kedua juga tak kalah ganjilnya. Bila talkshow itu memang faktual, lalu untuk apa Tv One meminta maaf pada polisi? Saya duga, permintaan maaf itu untuk menjaga hubungan baik dengan institusi Polri. Itu berarti Tv One bersikukuh bahwa Andris adalah narasumber kredibel alias markus di Mabes Polri, tapi mereka tetap meminta maaf bila berita itu menganggu tidur nyenyak para petinggi mabes. Bila ini benar, maka bagi saya ini adalah praktik "jurnalisme hamba sahaya". Dalam struktur sosial yang feodal, seorang bawahan yang sebenarnya tak merasa bersalah, bisa saja tetap minta maaf kepada atasannya bila ada situasi-situasi yang membuat atasannya tak enak hati. Tugas jurnalisme adalah mengungkap fakta, dan tidak ada urusan apakah seorang jenderal bisa tidur atau tidak setelah hal itu diberitakan.
Bila benar ini cara berpikir jajaran pimpinan Tv One, maka agar adil, sebaiknya redaksi melakukannya setiap hari kepada setiap individu atau institusi yang menjadi obyek pemberitaan mereka. Tv One harus sering-sering mengatakan: "Redaksi yakin bahwa berita korupsi ini benar, tapi kami meminta maaf bila Anda terganggu dengan pemberitaan ini".
Menyoal Kewenangan Polisi
Di sisi lain, dibukanya percakapan pribadi antara Andris Ronaldi dan Indy Rahmawati oleh polisi sesungguhnya bisa menimbulkan implikasi hukum. Kecuali tindakan mereka adalah persekongkolan pidana, maka tak ada hak apapun dari polisi untuk mengumumkannya kepada publik. Saya catat sudah dua kali polisi melakukan tindakan semacam ini. Yang pertama, dialami wartawan majalah Tempo, Metta Dharmasaputra, saat menekuni kasus skandal pajak Asian Agri (2007).
Polisi harus bertanggung jawab atas tersebarnya print out SMS Metta yang notabene adalah wartawan yang sedang bertugas menjalin kontak dengan mantan karyawan Asian Agri bernama Vincentius Amin Sutanto. Dalih polisi bahwa mereka sedang memata-matai Vincen (dan kemunculan telepon Metta tak terhindarkan), terbantahkan oleh fakta bahwa print out yang beredar bukan isi SMS Metta dengan Vincen, melainkan dengan pihak lain.
Dalam kasus Tv One, selain tak punya kewenangan menyebarluaskan isi SMS Indy-Andris-karena pembicaraan mereka berdua belum tentu relevan untuk diketahui publik-dalam kasus ini, institusi polisi sesungguhnya hanyalah pihak yang terkait pemberitaan semata, bukan institusi penegak hukum. Kebetulan saja Andris mengaku sebagai markus di Mabes Polri, sehingga ketika polisi bereaksi, kita menganggapnya sebagai tindakan aparat hukum. Padahal, sekali lagi, hal itu hanya kebetulan belaka. Bagaimana bila Andris adalah markus di lembaga lain yang tak punya kewenangan menyadap, membuntuti, menginterogasi keluarga, atau menangkap? Tidakkah tindakan itu justru harus dilaporkan ke polisi?
Kita perlu meluruskan logika, sebab dalam kasus ini, polisi jelas gagap membedakan antara dirinya sebagai lembaga hukum, dan (katakanlah) dirinya sebagai korban pemberitaan. Sebagai korban pemberitaan, polisi harus tunduk pada UU Pers dan UU Penyiaran, dengan menyerahkan kasus ini untuk diinvestigasi oleh Dewan Pers atau Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Polisi sebagai korban pemberitaan, tak boleh bertindak sendiri menciduki narasumber, mentang-mentang memiliki organ untuk melakukannya.
Polisi bisa melaporkan indikasi bahwa narasumber tersebut palsu ke Dewan Pers, tapi tak bisa mencari-cari Andris karena telah menjadi narasumber di Tv One. Dalam kapasitasnya sebagai lembaga hukum, polisi atau barangkali lebih tepat Propam Mabes Polri, bisa memproses Andris dalam konteks menindaklanjuti pengakuannya sebagai makelar kasus (sebagai saksi). Sebab yang harus didahulukan untuk diusut adalah para pejabat polri yang terindikasi terlibat permainan kasus, dan bukan whistleblower-nya.
Bila hasil penyelidikan ternyata nihil, maka secara hukum, Andris harus dilepas dan Polri bisa membuka kasus baru gugatan pencemaran nama baik kepada Andris dan Tv One karena pemberitaan yang merugikan korps mereka. Dan kasus ini bisa masuk dalam wilayah perdata, bukan semata-mata pidana.
Bila Andris memang bukan markus, maka tindak pidana apa yang ia langgar? Keterangan palsu? Bukankah keterangannya tidak di bawah sumpah sebagaimana layaknya di pengadilan? Bukankah ini kasus pencemaran nama baik lazimnya, yang mungkin melibatkan media dan bisa diselesaikan di jalur perdata?
Dus, tindakan polisi menyita berbagai berbagai kelengkapan kerja jurnalis dan naskah-naskahnya, adalah proses hukum yang sangat membingungkan bagi saya. Dewan Pers atau KPI harus menolak bukti-bukti itu dari tangan polisi, dan memintanya sendiri dari tangan para pihak yang akan dimediasinya.
Dewan Pers atau KPI sebaiknya melakukan langkah-langkah yang sistematis dan terstruktur untuk mengurai benang (yang dibuat) kusut ini. Pertama, Dewan Pers atau KPI harus fokus pada mandatnya, yakni memverifikasi pengaduan masyarakat (dalam hal ini Polri) atas tuduhan rekayasa berita. Dewan Pers atau KPI harus mengaudit metodologi jurnalistik yang digunakan Tv One untuk menemukan narasumber anonim markus yang belakangan ternyata adalah Andris Ronaldi. Dari sanalah bisa dibuktikan, siapa yang membohongi siapa.
Kedua, Dewan Pers atau KPI harus menginvestigasi apakah redaksi Tv One terlibat pembocoran identitas sumber anonimnya kepada pihak lain, dan memastikan bahwa Indy Rahmawati atau Andris Ronaldi, tidak dalam posisi terintimidasi untuk menyeleraskan dengan "skenario" korporasi atau institusi tertentu.
Ketiga, Dewan Pers atau KPI harus mendesak Polri agar tidak gampang main pasal pidana dalam kasus ini.
Keempat, Dewan Pers atau KPI, harus merumuskan sanksi yang jelas dan tegas bila ternyata ada malpraktik jurnalistik dalam kasus ini, dan mengumumkannya kepada publik segamblang-gamblangnya, termasuk mengumumkan metodologi yang dipakai dalam menangani kasus ini agar transparan dan akuntabel.
Anggota Dewan Pers dan KPI yang di antaranya adalah para jurnalis senior, seyogyanya tetap obyektif dan berpihak pada publik, dengan tidak terjebak suasana "psikologi perkawanan" dengan elit-elit media yang sedang diperiksanya.[]
Penulis adalah Dewan Pengawas LBH Pers, Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI)