April 09, 2010

[copas] IR, Presenter Cantik dan Rendah Hati

"Sigmoid Curve" memang memungkinkan seseorang untuk melompat dari kurva pertama ke kurva kedua. Tapi, pandangan itu mengabaikan asumsi keterbatasan dan sunatullah.

Kalimat pendek itu ditulis teman facebook pagi tadi dan maknanya cukup menggelitik. "Sigmoid Curve" adalah pandangan Charles Handy soal dinamika seseorang atau organisasi dalam melakukan perubahan. Menurutnya, kurva pertama merupakan bentangan jalan untuk melompat ke bentangan kedua sebagai keberhasilan. Pandangan itu menjadi pegangan Rhenald Kasali dalam mengupas buku Change yang laris manis bak kacang goreng.

Tapi, teman saya itu, saya sangat yakin bukan sedang berbicara dalam konteks manajemen atau organisasi. Yang saya pahami, ia memiliki minat yang sangat berlebih menyangkut dunia jurnalisme, televisi, dan budaya. Bahkan, belakangan ini bertambah dengan masalah pendidikan dan komunikasi. Firasat saya, ia memaknai kasus rekannya (IR=Indy Rahmawati) yang disebut makelar berita alias membayar markus palsu demi bersedia menjadi narasumber dalam sebuah acara talkshow di stasiun TVone.

Bicara tentang IR, saya ingat kehadirannya sekitar sebelas tahun yang lalu di stasiun SCTV. Ia reporter bertubuh mungil, cantik, cukup cerdas, tapi sedikit pemalu. Dan nyaris tidak ada sesuatu yang menonjol dalam dirinya. Modal suara yang michrophonis (maklum bekas penyiar radio) memang menempatkannya sebagai presenter.

Sebagai reporter memang tidak terlalu berprestasi. Hal ini bisa dibuktikan dengan pengamatan selama bertahun-tahun bekerja, kita tidak melihat karya dasyatnya. Entah karena ia menempati pos yang kurang "bunyi" di desk ekbis atau karena hal lain. Sebagai prsenter pun, ia jauh di belakang para seniornya.

Belakangan, sepulangnya dari liputan kenegaraan ke Negeri Paman Sam --waktu itu Pemred Liputan 6 (KI) ikutan juga-- tiba-tiba pamornya melesat. Ia disebut-sebut salah satu KI's angles --terserah diartikan positif atau negatif. Selain mendapat porsi siaran yang lebih banyak, ia pun lompat menjadi produser!

Ketika KI (Karni Ilyas) tergusur dari peta Liputan 6 oleh Kelompok Rosianna Silalahi, nasib IR ikut tergerus. Ia diplot menjadi produser program talkshow yang jauh dari minat dan kemampuannya. Sebagai produser, sebenarnya kapabilitasnya belum teruji. Selain sekadar penyunting naskah.

Tidak tahan dengan iklim yang makin tidak nyaman di bawah rezim Rossy, IR hengkang ke "pelukan" sang KI. Dan seperti jebolan-jebolan Liputan 6 lain, ia pun menempati posisi penting dan porsi siaran yang lebih besar. Artinya, peran kepresenterannya makin berkilau. Sekaligus juga, karirnya sebagai jurnalis televisi makin cemerlang --setidaknya di mata rekan-rekannya.

Tapi, IR tetap IR. Ia murah senyum, low profile, dan cantik. Ia memang ramah dan tidak pernah sombong. Dedikasinya terhadap pekerjaan pun luar biasa. Ia ikhlas "mengatur" jarak antara Bandung dan Jakarta, antara suami dan pekerjaan, demi karirnya. Hal itu dilakukan selama bertahun-tahun sejak gajinya hanya sebatas membayar kos dan ongkos PP Jakarta-Bandung!

Ketika posisinya makin berkilau dan tanggung jawabnya kian tak terbendung, beban kebutuhan program main bejibun, plus jejalan deadline makin membabi-buta, akhirnya tersandung juga. Tidak jelas benar, bagaimana perannya dalam kasus makelar berita itu. Idealnya, porsi "makelar berita" itu adalah porsi produser atau produser eksekutif. Sedangkan IR hanyalah presenter. Entah bila ia menempati struktur kreatif produser atau produser eksekutif dalam program itu.

Kalaupun salah, maka ia adalah korban dari kapitalisme media yang semakin hari semakin rakus dan membabi buta. Terlebih lagi untuk media yang memposisikan sebagai stasiun berita. Bandingkan kuantitas SDM, kuantitas durasi, dan segala tuntutan-tuntutannya? Bila hal ini sudah terjawab, maka munculnya kasus-kasus IR lain hanyalah menunggu waktu.

Ketika konteks "keterbatasan" dan "sunatullah" disodorkan, saya sangat yakin, hal itu mengingatkan kita semua soal uoaya membendung ambisi. Cara atau teknik memang bisa dilakukan untuk menggapai keinginan. Tapi, ketika bentangan kurva pertama dilewati dan bersiap-siap menanjak ke bentangan kedua atau sedang meniti bentangan kedua, sesungguhnya bakal ada hadangan lain dari Yang Maha Pencipta. Kaum spiritual menyebutnya hidayah.

Intinya, melangkah sesuai dengan kewajaran, tidak memaksakan diri, ngoyo, apalagi menghalalkan segala cara. Cobalah menyusuri bentangan kurva pertama dengan kejujuran dan apa adanya sehingga ketika melompat atau menyusuri bentangan kurva kedua sudah sangat siap. Termasuk, ketika dihadapkan kendala atau sunatullah.

Kalimat pendek yang inspiratif. Saya berharap analisis saya tidak keliru.[jaloe]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar