April 29, 2010

menjawab sapariah saturi-harsono

Untuk Sapariah,

Aku kira keputusan kamu untuk tak menurunkan profil usaha Puspo Wardoyo di halaman Jurnal Nasional punya dasar yang benar. Keputusan ini tak bisa dikategorikan self-censorship mengingat naskahnya tidak sempurna. Artinya, naskah itu sengaja tak mengungkap sisi buruk praktek poligami Puspo Wardoyo.

Keputusan reporternya untuk "hanya mengambil sisi positif dari sukses berbisnisnya" Puspo Wardoyo, justru menghasilkan laporan yang kebenarannya terdistorsi (distorted). Si reporter justru melakukan self-censorship terhadap satu sisi hidupnya Puspo Wardoyo.

Jurnalisme yang bermutu berhak menolak menerbitkan naskah yang sifatnya sexist, racist maupun sectarian. Logikanya, laporan jurnalistik harus usaha selalu tampil proporsional sekaligus komprehensif. Artinya, naskah yang tersurat atau tersirat sexist, racist atau sectarian adalah naskah yang tak tampil komprehensif dan proporsional. Naskah beginian bikin masalah.

Namun pertama-tama kita harus sepakat dulu bahwa sexism, racism, sectarianism adalah paham-paham yang keliru dan berbahaya untuk masyarakat kita. Paham-paham ini intinya memandang rendah orang-orang tertentu karena jenis kelaminnya (perempuan), orientasi seksual (gay atau lesbian), etniknya atau orientasi keagamaannya (Ahmadiah, Kejawen, Sunda Wiwitan, Komunitas Eden, Kaharingan dan lainnya).

Wartawan bisa menurunkan cerita tentang orang yang sexist, racist atau sectarian bila pandangan itu sendiri yang jadi focus dari laporan si wartawan. Namun kalau focusnya bukan pada pandangan mereka, seorang wartawan harus ekstra hati-hati agar laporannya bukan malah menyajikan informasi yang terdistorsi.

Puspo Wardoyo adalah seorang lelaki yang dikenal punya dua sisi. Pertama, dia seorang pengusaha sukses, pemilik restoran Wong Solo, yang cabangnya ada dimana-mana. Aku pernah makan di cabang mereka di Medan. Kedua, dia dikenal sering mempromosikan poligami. Artinya, dia juga tergolong sexist. Dia pernah mengeluarkan kalimat yang sensasional.

Misalnya

"Mindset istri pertama itu yang harus diubah. Harus ditanamkan kepadanya, istri yang baik dan saleh adalah tunduk terhadap suami, taat dan bisa menyenangkan suami. Ia harus rela dan malah bahagia suaminya beristri lagi."

"Kalau cuma satu istri, dia bisa seenaknya sendiri, karena tidak ada saingannya. Namun kalau beristri lebih dari satu, masing-masing istri akan bersaing untuk lebih mempercantik diri lebih dicintai suami."

Pilihan profil usaha Puspo Wardoyo potensial mengaburkan atau mendistorsi kebenaran dari cerita kehidupan Puspo Wardoyo. Seakan-akan dia ini hanya "sukses" tanpa melihat sisi lain poligami. Ini bisa paralel dengan memilih seorang pengusaha yang rasialis. Ini bisa paralel dengan memilih seorang pengusaha yang sektarian.

Misalnya, bagaimana sikap kita kalau media kita hendak menurunkan feature tentang satu pengusaha yang sentimen terhadap orang Tionghoa. Isinya melebar terhadap orang Tionghoa umumnya? Biasanya dibumbui dengan kata "pribumi" dan "non-pribumi."

Frasa Tionghoa ini bisa diubah dengan kata lain. Misalnya, "pengusaha Bugis" atau "tentara Jawa" atau "polisi Batak" dan seterusnya. Sedang kata "non-pribumi" bisa dengan mudah diganti jadi "pendatang" atau lawannya "putra daerah" maupun "penduduk asli." Semuanya berujung pada rasialisme. Bagaimana kalau tokoh yang kita tampilkan mempromosikan rasialisme? Apakah kamu melakukan self-censorship bila menolaknya?

Atau bagaimana sikap kita kalau kita hendak menurunkan feature tentang satu pengusaha Amerika WASP (White, Anglo Saxon, Protestant), yang terkenal karena ketidaksukaannya pada Islam? Aku banyak sekali punya contoh beginian. George W. Bush, sebelum presiden Amerika juga seorang pengusaha, beberapa kali mengeluarkan kata-kata yang nggak benar. Dia misalnya memakai kata "crusade" untuk "memerangi terorisme," seakan-akan membangkitkan makna Perang Salib soal Islam dan Kristen pada kasus World Trade Center. Bush memakai kata "articulate" untuk Barack Obama, seakan-akan Obama, yang lulus doktoral dari Harvard Law School, tak bisa bicara bahasa Inggris fasih. Ini hinaan yang terselubung terhadap orang kulit hitam.

Kalau pun kita terpaksa harus menurunkan laporan tentang pengusaha-pengusaha yang sexist, racist atau sectarian, maka prinsip yang harus kita perhatikan adalah proporsionalitas dan komprehensif. Artinya, kita harus menurunkan laporan yang detail tentang paham-paham mereka yang salah itu.

Misalnya, si reporter juga interview isteri-isteri dan anak-anak Puspo Wardoyo dan cerita soal sisi negatif dari praktek poligami Puspo. Kalau si reporter bisa memasukkan sisi-sisi destruktif dari poligami ini, aku kira, feature itu bolehlah untuk dilihat lebih jauh. Tapi tanpa interview sisi negatif Puspo Wardoyo, aku kuatir, kalian akan menurunkan laporan yang distorted.

Itupun si reporter harus memasukkan pendapat bahwa poligami adalah praktek perkawinan yang merugikan institusi keluarga. Ini setara dengan sikap kritis terhadap rasialisme dan sektarianisme dengan menyebutkan paham-paham itu merugikan prinsip hidup bersama dalam satu negara dan bangsa.

Kalau kita memilih Puspo Wardoyo untuk feature bisnis, tanpa mengkaitkannya dengan poligami, "hanya mengambil sisi positifnya," kita justru akan menciptakan informasi yang distorted. Paralel dengan kalau kita menurunkan feature yang rasialis atau sektarian padahal maksudnya (secara salah) adalah feature bisnis. Ini kelemahan kebanyakan wartawan di Indonesia, seolah-olah "hanya mengambil sisi positif" tanpa sadar bahwa pilihan itu justru menonjolkan sisi negatif.

Akhir kata, kita juga harus sadar bahwa Puspo Wardoyo maupun figur lain sejenisnya tahu benar bahwa mereka bisa mempromosikan kedua visi mereka --"poligami dan bisnis" atau "rasialisme dan bisnis" atau "sektarianisme dan bisnis"-- lewat media justru karena sikap politik yang kontroversial tersebut. Wartawan pasti tertarik pada kontroversi. Secara tidak langsung, wartawan yang bikin feature itu membantu promosi bisnisnya plus pandangan sempitnya itu. Ini iklan gratis untuk sexism, racism dan sectarianism.

Aku kira kalau kita mau membangun reputasi sebagai wartawan yang solid, yang tahu mana yang metodologis dan mana yang bakal mencoreng reputasi kita, naskah itu sebaiknya memang diperbaiki atau tak dimuat. Jurnalisme bermutu tak mau menciptakan distorsi yang begitu serius dalam masyarakat kita. Terima kasih untuk diskusi yang penting ini.[andreas harsono]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar