Oktober 08, 2009

jurnalisme ecek-ecek



Seorang petinggi di sebuah stasiun televisi swasta pernang menyindir bahwa berita televisi itu termasuk berita ecek-ecek. Karena , tidak ada kedalaman fakta, tidak ada kelengkapan fakta, tidak ada pengayaan wawasan. Berita televisi ditulis televisi seakan clip fakta. Hanya bagian paling menarik dari sebuah peristiwa. Bahkan, bagian dramatik dari sebuah peristiwa.

Semula saya cukup masgul dengan komentarnya itu. Saya maklum dengan kredibilitasnya sebagai wartawan media cetak. Durasi menekuni profesi itu memang sudah menahun. Mungkin, kalau ada perguruan tinggi yang berminat, ia layak juga menyandang gelar profesor. Tapi, kok komentar seperti itu muncul ketika ia berada di lingkungan stasiun televisi? Bukankah ironis? Bahkan, saya cenderung menilainya, gegabah?


Kenapa?


Saya sangat tahu, orang itu memang tidak pernah mempelajari proses pekerjaan jurnalistik televisi. Bahkan, ketika ia menempati posisi puncak, ia tidak langsung belajar dan beradaptasi. Tapi, justru ia bermain-main dengan kekuasaannya. Sehingga, ia tidak pernah merasakan sulitnya memainkan bahasa audio dan video. Apalagi, merasakan kenikmatannya!


Kalau saja ia mau bertanya ke kiri dan kanan soal televisi, wah banyak hal yang tidak akan pernah terbayangkan sebelumnya. Misal, pemahaman bahwa menulis naskah berita televisi itu laksana menulis skenario film. Bahwa meliput berita televisi itu laksana menyutradarai film dokumenter. Bahwa menyunting dan memproses sebuah naskah menjadi berita televisi itu laksana produser film dokumenter. Karena pemahaman-pemahaman seperti itu, jurnalis televisi bisa menekuni pekerjaannya hingga bertahun-tahun dan tidak pernah merasa bahwa pekerjaannya tergolong ecek-ecek.


Namun di luar pemahaman "sederhana" itu, saya tetap berkeyakinan, ilmu dan penguasaan akan masalah jurnalistik televisi akan membedakan pendapat tentang hasil kerja jurnalis televisi itu. Sejauhmana kemampuannya tentang televisi tentu akan memperlihatkan visi yang sebenarnya tentang apa-apa yang ada di lingkungan televisi.


Belakangan, ketika Sumatra Barat diguncang gempa berkekuatan 7,6 skala ricther, tiba-tiba saya teringat kembali sindiran "berita ecek-ecek" tadi. Persisnya, setelah mendengar cara bercerita berita-berita yang disajikan sejumlah stasiun televisi swasta. Bila dilihat secara random, saya melihatnya; porsi drama cenderung teramat besar, sehingga mengalahkan esensi informasi. Idealnya, fakta menjadi menu utama dibandingkan asesoris-asesoris yang cenderung imajinatif.


Menurut gambar yang dijadikan, sebenarnya tidak terlalu bermasalah. Standar peristiwa gempa, ya seperti itu. Perkara ibu-ibu atau anak-anak yang meraung-raung atau drama kesedihan lain yang tampil di puncak tubuh berita, juga harus maklum. Karena pertimbangan eye catching. Tapi, menyangkut narasi yang memaparkan fakta dalam tubuh berita?


Itu yang menjadi masalah. Demi mengejar poin dramatik, para "kreator" itu pun memainkan jurus-jurus bahasa yang agak "ngesastra". Bahkan, cenderung seperti puisi. Sehingga, seorang penonton bocah bertanya kepada saya, ini berita apa puisi? Parahnya lagi, narasi yang "dipuisikan" itu bukan lagi fakta tapi hiperbola perasaan sang penulis berdasarkan gambar yang dilihat. Karena, sang penulis bukanlah reporter yang meliput. Tapi, ia menulis berdasarkan gambar dan fakta yang dikirimkan reporter di lapangan. Akhirnya, saya bisa berkesimpulan bahwa berita itu sesungguhnya interpretasi sang penulis berdasarkan gambar dan fakta reporternya.


Dan bila harus dipaksakan sebagai berita interpretatif, apa harus seperti itu?


Sungguh, saya tidak berani membolak-balik catatan Ilmu Jurnalistik yang pernah didapat di bangku kuliah atau buku-buku referensi di lemari perpustakaan. Apalagi menghubungkannya dengan teori-teori penulisan berita televisi. Terlebih lagi, bila mencoba menghubungkannya dengan pemahaman menulis berita yang seperti menulis skenerio. Wah, kok benar-benar makin nggak nyambung!


Dan, kalau mau jujur, ternyata "berita-berita interpretatif" seperti itu bukan hanya terjadi pada penyajian berita-berita gempa di Sumatra Barat. Berita-berita lain, baik politik, hukum dan kriminal, atau ekonomi dan bisnis, belakangan cenderung penuh dengan interpretasi yang berlebihan – meski tidak menggunakan bahasa yang berpuisi-puisi. Bahkan, cenderung sebagai pendapat. Sehingga tidak jelas lagi, apa sesungguhnya fakta dari berita-berita itu?


Kalau sudah begini, artinya terbukti berita-berita televisi sekarang tergolong ecek-ecek? [POLITIKANA]


Tangerang, 09 Oktober 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar